Jumat, 12 Desember 2014

Catatan Emas Sejarah Muslimah

Peradaban kehidupan manusia dan semesta adalah kumpulan sejarah dalam hitungan waktu yang pernah hadir. Secara sunnatullaah, keberadaan kita sekarang pun adalah buah keberadaan orang-orang sebelum kita. Allah ta’ala telah menjelaskan dalam al-Qur`an bahwa Dia telah menciptakan manusia secara berpasangan yang dari keduanya lahirlah generasi hingga kesemuanya tersebar berbangsa-bangsa (QS. an-Nisâ`:1; al-Hujurât: 13).

Satu sosok yang diakui paling berpengaruh dalam tumbuh kembangnya sebuah generasi adalah sosok ibu (wanita). Ada kata-kata hikmah yang menyatakan bahwa “wanita itu tiang Negara, bila dia baik, maka baiklah negara itu. Tetapi bila wanita itu rusak maka rusaklah negara itu”. Bisa kita bayangkan secara logis, jika yang melahirkan, –terutama- yang mengasuh dan mendidik seorang anak adalah sosok ibu yang rusak akhlaknya, maka akhlak anaknya itu sebagai generasi dari sebuah Negara (peradaban) juga akan mengalami kerusakan yang tidak jauh berbeda.

Jumat, 21 November 2014

Sebuah Catatan tentang Wisuda di Usia Emas

Sepanjang masa pendidikan tinggi, wisuda mungkin adalah momen yang paling dinantikan oleh seorang mahasiswa selain sidang skripsi. Ibarat pendakian gunung, kedua momen itu adalah puncak pendakian untuk rehat dari lelah dan mengahabiskan kalori untuk tersenyum dan mengabadikan pemandangan kebahagiaan. Pernah mendaki gunung hingga puncak? Ya, saat menjejak puncak itulah kita biasanya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, memasang pose yang paling gagah dengan bahasa tubuh yang seolah-olah mengatakan “hei, aku udah pernah nyampe sini lho! B-) ”

Aku sempat berfikir dan berniat untuk tidak mengikuti prosesi wisuda karena tidak menemukan esensi yang urgen dari seremoni itu. Setelah orang tua merespon negatif gagasanku itu dan aku akhirnya tahu bahwa ikut atau gak ikut wisuda aku tetap diharuskan membayar administrasi wisuda, akhirnya aku memutuskan untuk izin meninggalkan tempat kerjadi Balikpapan beberapa hari, menyeberangi Laut Jawa demi mengikuti wisuda. Apalagi, suatu hari ibuku pernah memamerkan baju barunya dengan wajah sumringah seraya berkata, “ini baju baru yang akan dipakai di wisudanya Iqbal”, hingga melelehlah sang ananda waktu itu, dan syahdu lelehannya masih terasa hingga kini.

Senin, 10 November 2014

Menelisik Jejak-Jejak Nasionalisme Indonesia

Sejenak kita menengok buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mencari makna nasionalisme, maka kita akan mendapati definisi yang sederhana tentang suatu paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Jika diuraikan, asal katanya dari kata ‘nasional’ yang memiliki akar kata dari bahasa Latin yaitu ‘nation’ yang salah satu maknanya adalah ‘bangsa’, kemudian digabung dengan kata ‘isme’ yang bermakna paham atau sistem kepercayaan. Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme ini kemudian diasumsikan berperan membangun kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual sehingga anggota bangsa itu bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa mereka.

Kapan dan bagaimana nasionalisme hadir di tengah-tengah kehidupan manusia? Ada yang berpendapat bahwa nasionalisme mulai tumbuh dan naik daun pada abad 20 sebagai kekuatan politik kontemporer, termasuk dalam daftar produk-produk era modern. Ada yang merasa bahwa gagasan nasionalisme ini sudah muncul sejak masa revolusi Prancis di akhir abad 18. Ada juga yang berpendapat bahwa ideologi ini sudah muncul alamiah dan mendarah-daging pada diri seorang manusia sedari zaman nenek moyangnya. Fakta yang bisa kita telisik dari sejarah Indonesia khususnya mengatakan bahwa peperangan yang terjadi di sepanjang singgungan pribumi dengan Belanda di Nusantara ini hingga akhir abad 19 tidak disebabkan oleh permasalahan yang menyinggung semangat yang semakna dengan nasionalisme modern, karena ternyata peperangan itu memiliki latar belakang sejarah yang lebih disebabkan oleh kepentingan pribadi, politik lokal, dan ekonomi.

Senin, 18 Agustus 2014

Cerita Santri dan Sabun

Dalam kehidupan pesantren, aku selalu menemukan suguhan cerita yang menggelitik saraf senyum. Di pesantren mana pun itu yang pernah aku ketahui. Kesederhanaan dan kemuliaan ilmu di sana adalah kombinasi yang pas untuk menjadikan cerita-cerita di sana memiliki hikmah dan pelajaran, beberapa cerita lainnya menjadi penyegar fikiran dan perasaan. Seperti yang kali ini aku tuliskan, beberapa cerita tentang kehidupan santri bersama sabun yang pernah aku dapatkan selama 6 tahun menyantri di lingkungan santri putra PPHK.

Apa urusan santri dengan sabun? Sesederhana kita memahami relasi manusia normal dengan sabun pada umumnya. Rasa-rasanya, kita –manusia dan normal—tak bisa hidup tanpa sabun, bagai dua sisi mata uang, bagai punguk merindukan bulan, bagai pinang dibelah berduaan, hehe.. namun ceritanya akan menjadi gak biasa dan lebih berbumbu jika sabun dan santri telah bertemu. Berikut ini bukti-buktinya;

Senin, 28 Juli 2014

Gemuruh Berita dari Palestina

(gemuruh)
Gemuruh reruntuh megah rumah dan cita-cita
Gemerisik sendu tangis mata dan darah luka
Anak, tak lagi ber-ibu-bapak
Para ibu, lagi-lagi kehilangan anak
Tubuh hampir tak mengenal kata utuh
Kelu, entah keberapa kian lidah mengeluh dan mengaduh

Senin, 05 Mei 2014

Aku dan Himmah

Beberapa waktu yang lalu di sebuah grup jejaring sosial, aku mendapatkan sebuah nasihat yang sangat nancep di hati dan fikiran;
"Segala yang karena Allah tidak akan pernah berhenti, sekarang lihatlah apakah ada yang terhenti dari hidupmu? Mengapa? Karena kau tak benar-benar melakukannya karena Allah…
Semakin tinggi ketaatan seharusnya berbanding lurus dengan pengabdian, karena ikhlas yang benar selalu berbuah amal, lantas apa yang sebenarnya terjadi jika amalmu pun tak lagi tampak?"

Jumat, 28 Maret 2014

Jum'at, di Sebuah Tempat

Jum'at

Murottal masjid Al-Husna

Seruan bersiap bersegera

Terik mentari menyengat

Peluh mengalir dari pori-pori olahraga pagi

Lalu lalang jilbab putih dan jubah hitam, bergantian dengan baju koko dan kemeja putih bercelana bahan kain warna hitam

Secarik kertas izin berstempel 'Bidang Kedisiplinan' selayaknya tiket keluar masuk tempat hiburan

Kamis, 27 Maret 2014

Sebuah Cerita Menuju 'Nyoblos' PEMILU 2014

Ceritanya, sebuah negeri sedang riuh-ramai mempersiapkan momentum Pemilihan Umum (PEMILU) 2014, dan seorang anak manusia ini tak mau kalah lalu ikut-ikutan meriuhramaikan dirinya…

By the way, tulisan ini hadir dengan berlepas diri dari kontroversi golput-goltam-golputamkun(?), juga dari kontroversi keikutsertaan dalam PEMILU sebagai produk sistem demokrasi yang belum disertifikasi halâl Majelis Ulama Indonesia (MUI). Aku sudah mantap selesai dari kontroversi tiada ujung itu dan memutuskan untuk mengambil hak pilih, menyumbangkan suara sebagai bagian kecil dari kontribusiku untuk perbaikan-perbaikan di negeriku, di tanah-air tempat tinggalku juga tempat tinggal orang-orang yang aku cintai ini. Sefrekuensi dengan fatwa MUI tentang kewajiban mengangkat pemimpin (yang lebih dikenal dengan fatwa haram golput). Masih ada orang-orang yang saleh-salehah-kompeten-bijak-taat-kuat yang aku kenal dan layak aku perjuangkan untuk terpilih sebagai pemimpin, juga masih ada (banyak) orang-orang yang oportunis-pragmatis-tengil-usil-jahil yang aku kenal dan layak dicegah langkahnya dalam ajang PEMILU 2014 ini sebelum menambah taraf keparahan dan kuantitas daftar kerusakan dalam negeri. *ini agak sok-sokan heroik -_-“*

Jumat, 28 Februari 2014

Refleksi Perih dan Peluh

Batas, ketika tegak menjadi patah lalu jatuh..

Ada pula yang memilih 'menyerah'
Mereka yang sudah jatuh sebelum patah
Mereka yang mundur sebelum melangkah

Selasa, 25 Februari 2014

Refleksi Konsistensi

Jalani dengan tenang..
Fokus..
Konsentrasi..
Jaga nutrisi..
Atur ritme..
Bayangkan visi..

Teriakan cemoohan atau dukungan, semuanya sama, mengharapkan kita tidak bergeming menuju tujuan...

Sabtu, 25 Januari 2014

Dari Rahim yang Sama

Kita ditakdirkan hadir dari rahim yang sama, dari sepasang manusia yang sama, tumbuh dan berkembang mula di sana. Belum genap hak menyusuku habis, ibu kita mengandung lalu melahirkanmu. Tak pernah aku sesali lalu menuntut ganti, apatah lagi benci, waktu itu kita hanya dua makhluk yang belum sadar tentang hak dan kewajiban insani.

Kita ditakdirkan tumbuh dan berkembang dalam rumah yang sama, meski kamar kita berbeda. Aku anak laki-laki, kamu anak perempuan. Di rumah itu, aku tumbuh sebagai anak laki-laki yang pendiam, kaku, patuh, penurut, dan penakut. Sedangkan kamu tumbuh sebagai anak perempuan yang enerjik, luwes, pemberontak, dan pemberani.

Selasa, 21 Januari 2014

Di Balik Cerita, Serial Suami Otak Kiri dan Suami Otak Kanan

Kurang-lebih setahun terakhir ini aku dengan seorang sahabat menyusun tulisan-tulisan cerita dengan tajuk "Serial Suami Otak Kiri dan Suami Otak Kanan". Awalnya dari postingan sahabatku itu saja yang dibagikan di grup alumni pesantren, lalu kemudian aku membantunya mengolah, mengembangkan, memberi ide, ilustrasi, dan seterusnya. Isinya hanya cerita dengan format narasi dan dialog beberapa tokoh yang bertema seputar kejadian dalam rumah tangga, khususnya Suami-Istri. Cerita-cerita di dalamnya kemudian menawarkan pembaca untuk mengkomprasikan nilai/sikap antara si Suami Otak Kiri (dikenalkan sebagai Soki) dan Suami Otak Kanan (dikenalkan sebagai Soka).

Biasanya, yang menjadi kunci 'pertahanan' untuk menerima dan menolak oleh pembacanya adalah konteks yang membandingkan karakter Kiri dan Kanan dalam cerita. Ada yang bilang "diskriminatif", "gak adil", "memojokkan salah satu pihak", dll. Wajar, awalnya aku pun merasakan hal yang serupa. Jujur, ketika sikap si Suami Otak Kiri ini ternyata pernah terlintas di pikiranku --bahkan pernah aku lakukan, *tapi bukan sebagai suami ya :D--, responku ya kesel. Tapi secara naluriah aku mengakui, sikap si Suami Otak Kanan ini memang pilihan yang baik nan unik. Kemudian aku mikir, daripada menggerutu pada karya orang lain lebih baik ambil yang baik dan manfaatnya sajalah. Akhirnya waktu itu aku nanya-nanya ke sahabatku itu, "apakah konteks Otak Kiri-Otak Kanan yang dia maksud itu sama dengan konsep potensi Otak Kiri-Otak Kanan yang dikenal pada umumnya (Psikologi) atau gagasan yang berbeda?", jawabannya ternyata 'gagasan yang berbeda'. Setelah itu aku mantap melanjutkan kerjasama penyusunan cerita-cerita Soki-Soka.