Kita ditakdirkan hadir dari rahim
yang sama, dari sepasang manusia yang sama, tumbuh dan berkembang mula di sana.
Belum genap hak menyusuku habis, ibu kita mengandung lalu melahirkanmu. Tak
pernah aku sesali lalu menuntut ganti, apatah lagi benci, waktu itu kita hanya
dua makhluk yang belum sadar tentang hak dan kewajiban insani.
Kita ditakdirkan tumbuh dan
berkembang dalam rumah yang sama, meski kamar kita berbeda. Aku anak laki-laki,
kamu anak perempuan. Di rumah itu, aku tumbuh sebagai anak laki-laki yang
pendiam, kaku, patuh, penurut, dan penakut. Sedangkan kamu tumbuh sebagai anak
perempuan yang enerjik, luwes, pemberontak, dan pemberani.
Atraksi kabur dari rumah melalui
jendela, atraksi menanam butiran tasbih di lubang hidung sampai orang tua kita
tergopoh-gopoh membawamu ke dokter THT hingga tengah malam, atraksi terlepas
dari ayunan kaki kakak kita lalu menabrak pojokan tajam meja kayu yang membuat
kepalamu bocor, atraksi berkali-kali menatap siaran televisi dalam jarak satu
depa yang membutmu menjadi satu-satunya anak berkacamata di keluarga kita, atraksi
menginjak piring kotor hingga pecah yang lalu merobek kulit-daging-dan urat
kakimu, atraksi memanjat hingga pucuk pohon kérsen (talok) di sekolah yang
membuat nasibnya berumur pendek karena akhirnya ditebang pengurus sekolah
--(katanya) demi mengkhawatirkanmu--, dan atraksimu yang lainnya, yang kemudian
kamu akhiri dengan tangisanmu dan kehebohan omelan orang-orang di sekitar kita.
Dan kamu satu-satunya anak di keluarga kita yang berani menegur bapak untuk
berhenti merokok sementara aku malah membantunya menyalakan rokok.
Betapa enerjik dan beraninya
kamu, dan aku waktu itu lebih sering memilih untuk membungkam ucap, antara iri
dan kagum. Ya, bagaimana tidak? Aku yang waktu itu selalu merengek untuk tidur
bersama ibu-bapak atau mengundang teman menginap semalam demi menemani tidurku
yang dipenuhi imajinasi setan-setan di televisi, selalu tersisih dari
permainan-permainan bocah laki-laki, hanya berani memanjat dahan terbawah dari
pohon kérsen, selalu menangis agar dibelikan gameboat dan Texas Chicken yang berhadiah mainan, rasanya wajib iri
dan kagum padamu yang nampak bebas dan tanpa beban. Aku menemukan dunia yang
berbeda pada dirimu. Entah kamu tahu atau tidak, iri dan kagumku itu yang
kemudian sering memancingku untuk beberapa kali berseteru denganmu, menatap
dengan pandangan remeh pada dirimu, menjawab salammu dengan ketus atau candaan,
meledekmu di depan teman-temanku yang berkunjung main ke rumah, memanfaatkanmu
untuk membujuk ibu-bapak kita agar mereka membelikan kita sesuatu, mengacuhkanmu
yang menjadi anak bawang di kelas TK-ku..
Aku sempat sombong akan
kepatuhanku pada kedua orang tua kita, karena kamu seringkali tak patuh dan ceroboh.
Kepatuhanku itu suatu saat akhirnya roboh, karena akhirnya aku memberontak,
menolak mentah-mentah rayuan ibuku untuk masuk sekolah dasar Islam swasta yang
selalu dianggap rendahan dalam obrolan teman-teman mainku. Gengsiku mulai
tumbuh. Sedangkan kamu dengan nampak ringannya mengangguk, mengiyakan rayuan
beliau untuk sekolah di sana. Jadilah sepanjang masa pendidikan dasar itu, kita
semakin berjauhan, aku dengan dunia sekolah negeriku dan prestasi-prestasiku
yang gemilang, kamu dengan kesahajaan sekolah swastamu dan prestasi-prestasimu
yang juga ikutan bersahaja. Pada masa-masa itu aku jumawa pada prestasi namun
sepi dari hangatnya pertemanan, sedangkan kamu yang sahaja dalam prestasi,
selalu ceria dalam dekap hangat persahabatan. Iri dan kagumku cukup mengikis di
masa-masa itu, kita berada di dunia pergaulan yang berbeda, meski setiap hari
kita pulang ke rumah yang sama.
Takdir kemudian menggariskan kita
berlabuh di tempat yang sama dalam tumbuh kembang usia remaja kita, sebuah
Pondok Pesantren. Lagi-lagi waktu itu kepatuhanku roboh, aku menolak mentah-mentah
rayuan ibuku untuk masuk sekolah lanjutan tingkat pertama swasta di kampung
kita yang selalu dinilai rendahan --dan memang hampir saja sekolahnya ‘bubar’--
dalam obrolan teman-teman mainku dan kemudian lebih memilih Pesantren yang
katanya modern. Lagi-lagi gengsiku hadir. Sedangkan kamu dengan nampak ringannya
mengangguk, mengiyakan rayuan beliau untuk mengikuti jejakku ke Pesantren itu.
Satu pelajaran tentangmu, ternyata kamu sulit kutebak, terkadang di luar
stereotipku tentangmu yang pemberontak dan ceroboh. Di Pesantren itulah aku banyak
belajar lalu menemukan masa –semacam-- rekonsiliasi denganmu, bahkan menemukan
cinta padamu. Kamu semakin anggun dan feminin, dan aku dilatih untuk menjadi
lelaki yang kuat dan berani, ibarat salmon yang akhirnya menemukan jalan pulang.
Mungkin ini salah satu hikmah dari keberadaan kita di rantauan yang sama, jauh
dari kedua orang tua kita, dan dekat dengan berbagai ilmu serta para teladan ukhrawi.
Sejak saat itu, aku merasakan
bahwa kita adalah satu tim yang kompak, entah kamu merasakannya atau tidak,
entah aku yang terlalu lebay memaknai.
Kamu mengadu, aku mendengarkan. Aku mengadu, kamu pun mendengarkan. Rasanya
tidak ada rahasia lagi di antara kita, aku bagikan rahasiaku padamu, pun
sebaliknya. Pertemuan-pertemuan kita di sana adalah berbagi cerita suka-duka, semangat,
gagasan, hadiah, dan kerinduan. Saat-saat bertemu denganmu adalah obat rinduku
pada keluarga kita, obat rinduku pada semangat meningkatkan kapasitas diri. Dan
satu terpenting, kita selalu menjadi tim pencair komunikasi atas konflik
ibu-bapak kita.
Dari sana, iri dan kagum kita
semakin logis dan berimbang, kamu bilang iri dan kagum padaku, kamu tuliskan
semuanya dengan jelas waktu itu di suratmu yang kamu berikan padaku di saat
mengadu kejenuhan dan kesedihan. Kamu iri dan kagum padaku yang –katamu-- nampak
menikmati sekali aktivitas-aktivitas di Pesantren, meraih beberapa prestasi dan
perhatian warga Pesantren, sampai kamu katakan ingin bertukar kehidupan
denganku. Dan aku padamu? Ah, rasanya tidak akan pernah kekurangan rasa iri dan
kagumku, kamu yang sahaja di antara warga Pesantren telah melampauiku di
prestasi yang sangat ingin aku raih, mengikuti kelas takhashshush, menghafalkan dan menjaga firman-firman Allah ta’ala, prestasi yang hanya bisa
dilampaui oleh adik bungsu kita, yang hingga saat ini belum bisa aku kejar.
Sampailah juga akhirnya kita
ditakdirkan berjuang di Perguruan Tinggi Negeri yang sama, fase keempat dari
kehidupan kebersamaan kita. Di awal fase ini tidak ada lagi rayuan ibu kita
untuk masuk ke Pergurun Tinggi tertentu, sekedar pertanyaan-pertanyaan untuk
meyakinkan diri kita juga beliau, dan kita semakin menuntut independensi meski
masih bergantung pada uang saku dari beliau. Waktu itu orang tua kita
menitipkanmu padaku, membantumu mengurus tes masuk, mengantar bepergian, mencari
tempat tinggal sementara, dan segala macamnya. Tidak ada rasa keberatan, yang
ada adalah kebahagiaan bisa kembali bersama denganmu di perantauan. Alhamdulillaah jawaban tes masukmu di
Perguruan Tinggi Negeri ini adalah ‘Lulus’, dengan demikian aku resmi menerima
tugas dari orang tua kita sebagai walimu selama di perantauan yang sama.
Rangkaian waktu dan peristiwa
membawa kadar ujiannya, hingga kita sampai di hari ini, di saat usia kita
sama-sama meninggi. Dan kamu tak berhenti membuatku iri dan kagum, di saat aku
merenggangkan diri dari status santri lalu berlagak seperti ustaz, kamu tetap
saja merunduk teduh menjadi santri, “untuk menjaga ilmu!” ujarmu, semakin
mengoyak kejumawaanku.
Perantauan kita yang ini memang
berbeda dengan perantauan kita yang sebelumnya, selain berkesempatan mengasuh
adik bungsu kita secara bersama-sama, kini kita berada dalam atmosfir yang
lebih luas dan ramai, dan kita akhirnya menemukan orbit kita masing-masing.
Meski berbeda orbit, alhamdulillaah,
ternyata kamu memilih orbit dengan arah dan semangat yang sama dengan orbitku,
dan aku tak pernah memaksamu untuk memilih itu. Selama arah dan semangat orbit
kita sama, aku tidak pernah mengkhawatirkanmu, karena pasti akan banyak orang
yang ikut terlibat mengasuhmu.
Di sini, peran dan ego kita
masing-masing mengokoh, dengan tulus kamu mulai mengatakan --beberapa kali-- bahwa
kamu tak ingin disama-samakan dan dibanding-bandingkan denganku. Fyuh.. “siapa yang melakukan itu?”, kamu
tak pernah menjawabnya. Yah, padahal
kita memang berbeda meski dari rahim yang sama, lantas apa yang kita risaukan? Oh, ya, maaf, maaf, mohon maafkan aku ya
sayang, mereka yang membanding-bandingkan kita itu memang belum bijak mendefinisikan
saudara kandung. Mudah-mudahan mereka segera mengerti dan tidak menuntut
hal-hal di luar kemampuan juga kehendak kita.
Oh ya, belum
lama ini aku menonton sebuah film animasi yang menceritakan seorang Gru bersama
ketiga putri asuhnya; Margo, Edith, dan Agnes –juga dengan para minion-nya--.
Mungkin ceritaku ini tidak istimewa bagimu, hehe.
Aku hanya ingin menceritakan bahwa aku terkesan pada salah satu konflik di
dalamnya, yaitu di saat Gru menjadi salah tingkah, gelisah, dan over protective ketika salah satu putri
asuhnya, Margo, bertemu dengan Antonio. Aku rasa, respon Gru di sana mewakili
respon yang umumnya terjadi pada seorang ayah. Boleh kamu percaya atau tidak,
entah kenapa aku yang hanya seorang kakak laki-laki juga mengalami kondisi
seperti yang terjadi pada Gru di film itu. Derai tangis dalam shalat dan zikir,
tidur dengan membawa sekelumit fikiran, makan dengan lamunan, was-was atas
setiap prasangka, dan rasa untuk terus ingin tahu tanpa diketahui. Aku berfikir
dan mengira, bapak kita mungkin akan merasakan konflik batin yang lebih dahsyat
dari yang aku rasakan ini. Siapapun yang akan membawamu nanti, yang akan
mengambil hak lebih untuk melindungi dan menafkahimu nanti, aku dan bapak kita memiliki
tanggungjawab untuk memastikan agar dia bisa menjagamu tetap bahagia dan membawa
kebahagiaanmu itu hingga di kehidupan kekal, agar dia bisa membawamu ke derajat
yang lebih tinggi di hadapan Rabb
kita, aku berharap kamu mengerti kelakuan kami.
Setelah fase kita di sini selesai, berganti, kita belum mengetahui nuansa fase berikutnya seperti apa. Firasatku membisik berkata bahwa orbit kita akan semakin berjauhan, mudah-mudahan tetap di arah dan semangat yang sama, aku berharap begitu karena aku mencintaimu tapi juga tak ingin memaksamu memaknai hidup seperti dalam perspektifku.
Baarakallaahu fii ‘umriki, semoga usiamu dan usiaku penuh dengan
keberkahan, semoga sisa-sisa usia kita penuh guna, semoga hidupmu dan hidupku
penuh kebermanfaatan nan menginspirasi kebaikan di semesta kehidupan.
Yogyakarta, 25 Januari
2014
Bagus, Mas. Terharu bacanya :"
BalasHapusmakasih banyak Naim :")
BalasHapusjadi teringat mbak saya..
BalasHapusdulu kita selalu bertengkar dan berselisih paham, namun ketika kita telah dewasa masa- masa itu justru jadi kenangan indah untuk ikatan batin diantara kami.
hehe.. rasanya semua anak dengan saudara kandungnya --bahkan juga mungkin anak2 tetangganya-- mengalami proses hidup yang sama; berantem! hehe..
Hapusiya mba, kalo diinget2 pasti bisa bikin senyamsenyum sendiri rasa haru :')
Pas baru baca sampai bagian 'Sedangkan kamu tumbuh sebagai anak perempuan yang enerjik, luwes, pemberontak, dan pemberani' udah sangat bisa ditebak siapa orang yg dimaksud... :D
BalasHapusKalau bagian 'mengacuhkanmu yang menjadi anak bawang di kelas TK-ku..' ini mirip dgn perlakuan kakak yg pas di atas sy ke saya pas masih lecil =.= emg kebanyakan anak laki2 yg masih kecil itu sebel sama adek perempuannya ya -.-
Hehe.. gampang ya nebaknya :')
Hapuskayaknya begitu Rul, bahkan pun sama adek laki2nya (pengalaman punya kakak laki-laki juga) ..
beda kalo kakak perempuan, yang rata2 (setahuku dan sepengamatanku) nampak sayang dan perhatian sama adek2nya :')
kalau bagian 'aku tumbuh sebagai anak laki-laki yang pendiam, kaku, patuh, penurut, dan penakut' saya no komen aja lah ^^v
Hapuspas kecil kakak laki itu emang (agak) nyebelin. Tapi pas udah gede lumayan berguna.... jadi tukang anter jemput & bodyguard ^^
Hehe.. iya Rul, kasian banget dah si 'aku' itu :')
Hapusyah.. mungkin perasaan si kakak laki itu juga mirip2 Rul, udah gede dan insting laki2nya tumbuh, bangga merasa menjadi sosok yang berguna buat adik perempuannya..
Iri,,,,
BalasHapusaku juga iri nih sama Mba, punya banyak adik laki2, hehe :D
Hapus