Jumat, 21 November 2014

Sebuah Catatan tentang Wisuda di Usia Emas

Sepanjang masa pendidikan tinggi, wisuda mungkin adalah momen yang paling dinantikan oleh seorang mahasiswa selain sidang skripsi. Ibarat pendakian gunung, kedua momen itu adalah puncak pendakian untuk rehat dari lelah dan mengahabiskan kalori untuk tersenyum dan mengabadikan pemandangan kebahagiaan. Pernah mendaki gunung hingga puncak? Ya, saat menjejak puncak itulah kita biasanya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, memasang pose yang paling gagah dengan bahasa tubuh yang seolah-olah mengatakan “hei, aku udah pernah nyampe sini lho! B-) ”

Aku sempat berfikir dan berniat untuk tidak mengikuti prosesi wisuda karena tidak menemukan esensi yang urgen dari seremoni itu. Setelah orang tua merespon negatif gagasanku itu dan aku akhirnya tahu bahwa ikut atau gak ikut wisuda aku tetap diharuskan membayar administrasi wisuda, akhirnya aku memutuskan untuk izin meninggalkan tempat kerjadi Balikpapan beberapa hari, menyeberangi Laut Jawa demi mengikuti wisuda. Apalagi, suatu hari ibuku pernah memamerkan baju barunya dengan wajah sumringah seraya berkata, “ini baju baru yang akan dipakai di wisudanya Iqbal”, hingga melelehlah sang ananda waktu itu, dan syahdu lelehannya masih terasa hingga kini.

Wisuda S1 periode I Tahun Akademik 2014/2015, 18 November 2014, kucir di toga yang aku pakai digeser ke sebelah kanan. Konon itulah prosesi sakral dari wisuda. Entahlah apa filosofi dan sejarahnya. Bagiku, yang sakral dari wisuda adalah merasakan dan menyaksikan kebahagiaan dan kesyukuran kedua orang tua, keluarga, sahabat, dan kerabat lainnya. Apalagi setelah melalui perjalanan akademik yang panjang :p. Alhamdulillaah. Jika dihitung-hitung, ini berarti wisudaku yang ke-3; wisuda pertama adalah wisuda lulus TPA 16 tahun yang lalu; kedua, wisuda lulus Pesantren 7 tahun yang lalu.

Menurut beberapa orang yang terlibat dalam wisuda 18 November kemarin, ada beberapa kesan yang bisa menjadi kenangan spesial di wisuda periode ini, terkhusus untuk aku pribadi :D.

  • 1.      Bagi Pejuang 07 UGM yang diwisuda periode ini, angka 7 menjadi simbol yang sangat kuat mewakili mereka (kami Red.). Kami angkatan masuk tahun 2007, ada 7 orang, dari 7 fakultas berbeda, menyelesaikan masa studi selama 7 tahun, diwisuda tak lama setelah Indonesia memiliki Presiden ke-7. Ibarat usia manusia atau usia pernikahan, tahun ke-7 kuliah itu mungkin seperti usia emasnya :”>. Mudah-mudahan di wisuda periode berikutnya, Februari 2015, Pejuang 07 bener-bener cuci gudang, insyaa-Allaah, aamiin..
  •  
  • 2.      Malam hari sebelum wisuda, ditandai dengan naiknya harga BBM, dari Rp. 6.500,- menjadi Rp. 8.500,-. Malam yang panjaaaanggg, sepanjang antrian kendaraan bermotor di SPBU-SPBUyang berharap masih kebagian menimbun BBM harga lama.Aku sempat mengira-ngira momen wisuda akan menjadi momen para aktivis mahasiswa dan mahasiswi UGM untuk berdemo menolak kebijakan kenaikan harga BBM ini, apalagi rektor mereka (kami red.)juga termasuk tokoh strategis dari pemerintahan RI yang baru ini. Namun ternyata, nampak-nampaknya, keceriaan orang-orang yang diwisuda hari itu mampu meluluhlantakkan atmosfir perlawanan. Para mahasiswa dan mahasiswinya memang berkumpul beramai-ramai dan berteriak-teriak di depan Gedung Grha Sabha Pramana (GSP) UGM, tapi bukan ekspresi dan teriakan perlawanan, melainkan ekspresi kegembiraan dan kebanggaan melihat kakak-kakak mereka diwisuda. Beberapa mungkin ada yang berekspresi kekecewaan, melihat pujaan hatinya diwisuda duluan dan berfoto-foto gembira bersama orang lain #eeeaaa #apasih. Hkhkhkhk... Lain deh dengan nuansa wisuda di kampus Islam negeri di daerah Jalan Solo sana, yang kerap mengadakan demonstrasi di momen wisuda meskipun harga BBM tidak naik (y).
  •  
  • 3.      Pukul 6 pagi, di saat semua wisudawan dan wisudawati harusnya telah hadir di Gedung GSP UGM, seorang wisudawan masih sibuk menunggui celana setelan wisudanya yang sedang –masih- dijahitkan oleh ibunya. Mungkin waktu itu, 69 tahun silam, saat-saat detik kemerdekaan, juga sedramatis ini ya, saat ibu Fatmawati menjahit bendera merah-putih, hehe. Terima kasih ibuuu... emmmmuuaahahh... :-* ini karena keteledoran ananda yang luput menyiapkan pakaian wisuda. Alhamdulillaah meski telat datang ke lokasi wisuda, ngos-ngosan, keringetan, masih dipersilakan registrasi dan mengikuti wisuda, fyuuhh...
  •  
  • 4.      Karena terlambat dan tertinggal rombongan wisudawan-wisudawati se-fakultas, aku akhirnya ikut berbaris di dalam rombongan fakultas lain, -lebih tepatnya di antara rombongan fakultas Biologi dan fakultas Ilmu Budaya. Bukan agenda yang urgen sih, hanya ikut berjalan dalam barisan agar masuk gedung acara dengan tertib. Tidak semua keterlambatan meninggalkan kesan buruk. Karena keterlambatan di pagi itulah akhirnya aku bertemu (ditemukan red.) oleh salah seorang senior kampus dari fakultas Ilmu Budaya, mbak Halimah. Mbak Halimah sukses menambah kesyukuran di balik keterlambatan, ahahah. Di saat wisudawan-wisudawati lainnya masuk ke ruangan wisuda dengan tangan hampa, aku sudah dibekali bunga sama mbak Halimah. Hihi.. makasih banyak ya mbak, jazaakillaahu khayran katsiiran, semoga Allah menguatkan dan memudahkan mbak dalam setiap urusan, aamiin.. :’D
  •  
  • 5.      Setelah masuk ruangan upacara wisuda dan akhirnya berhasil menduduki kursi yang sudah ditentukan oleh panitia, selang beberapa detik saja, ada semriwing aroma khas menyapa hidungku yang baru saja –paginya- cukuran (?). Ada beberapa gumpalan yang melekat di lantai, di depan salah satu kursi peserta wisuda, -jeng jeng jeeengggg....- ee* kucing!!! Pantas saja kursi itu dikosongkan, jaraknya 4 kursi saja dari kursi tempatku. Entah kucing siapa yang tadi malam iseng mampir dan buang hajat di ruangan wisuda. Sontak saja orang-orang di sekitaran kursi itu heboh karena parfum yang mereka semprotkan di badan dan baju tak lagi berfungsi, kipas angin dan ruangan yang sumpek memperparah suasana, dan berkali-kali dihirup pun bau ee* si kucing tak kunjung habis. Alhamdulillaah setelah bertahan hampir 1 jam, ada petugas cleaning service yang membereskan ee* kucing itu, dan meskipun akhirnya lantai sudah kembali bersih dan agak lebih wangi, trauma dan kenangan itu masih melekat jelas di hidung.
  •  
  • 6.      Bukan rektor yang mewisuda kami, karena beliau -Pak Prof. Pratikno-, tengah sibuk dengan tugasnya sebagai seorang MenSesNeg yang baru saja dilantik. Terima kasih banyak Pak Prof. Iwan selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan yang telah menggantikan Pak Prof. Pratikno untuk mewisuda kami. Jujur, ada kebanggaan sekaligus rasa sesal ketika Pak rektor diangkat menjadi seorang menteri yang strategis di pemerintahan. Awalnya mengira “horee.. aku diwisuda sama MenSesNeg lhooo...!!!”, ternyata... ah.. sudahlah gak apa-apa. By the way, perasaan ini berlaku juga ketika salah seorang alumni almamaterku ini berhasil menjadi Presiden RI, hehe... ah... sudahlah... mari kita move on...!!!
  •  
  • 7.      Di saat yang lainnya bisa langsung mendapatkan ijazah asli dalam prosesi wisuda, aku harus menyadari bahwa masih ada yang harus aku bayar untuk dapat menyentuh, mencium, menggaruk-garuk, dan memeluk ijazah asli sarjanaku; pengabdian. Ya, ijazah asliku ditahan, tidak akan diberikan sampai aku menyelesaikan perjanjian pengabdian yang pernah aku buat bersama Kementerian Agama (Kemenag) RI. Perjanjian ini untuk mendapatkan beasiswa penuh selama 5 tahun kuliah di UGM. Pengabdian ini harus dilakukan dalam waktu minimal 3 tahun di Pesantren tempat belajar sebelum kuliah, atau di Pesantren dan atau lembaga pendidikan agama Islam lainnya. Tujuannya mulia, memajukan kualitas pendidikan Pesantren dan dîniyyah dalam negeri.


Yah, sekurang-kurangnya ada 7 itu yang menjadi kenangan di wisuda periode ini. Tanpa rekayasa dan tanpa kebetulan, qaddarallâh, aku hanya bisa menyimpulkan 7 poin di atas saja, hehe.. Jika rekan-rekan pembaca memiliki pengalaman dan pernah menemukan fenomena yang berkesan di momen wisudanya, boleh dong ikutan berbagi di sini juga. Mudah-mudahan, semoga saja, ilmu-ilmu yang pernah kita pelajari diberkahi dan bermanfaat bagi kita, juga bagi orang-orang di sekitar kita.

Allâhumma-nfa’nâ mâ ‘allamtanâ, wa ‘allimnâ mâ yanfa’unâ, wahai Allah, kami memohon kepadaMu anugerah manfaat atas ilmu-ilmu yang telah Engkau ajarkan kepada kami, kami memohon pula kepadaMu wahai Rabb kami, ajarilah kami ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi kami, aamiin...


Balikpapan, 21 November 2014

3 komentar:

  1. Waaahh mas Iboy selamat yaa, Alhamdulillah akhirnya mentas juga :D Selamat mengabdi mas, tapi jangan mengabdi demi ijazah ya :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe.. makasih banyak Ifah :')
      alhamdulillaah..

      insyaa-Allaah, bukan karena ijazah, sama sekali gak kepikir sih, ortu aja yang was-was :))

      apa kabar Ifa?

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus