Peradaban
kehidupan manusia dan semesta adalah kumpulan sejarah dalam hitungan waktu yang
pernah hadir. Secara sunnatullaah, keberadaan kita sekarang pun adalah
buah keberadaan orang-orang sebelum kita. Allah ta’ala telah menjelaskan dalam al-Qur`an
bahwa Dia telah menciptakan manusia secara berpasangan yang dari keduanya
lahirlah generasi hingga kesemuanya tersebar berbangsa-bangsa (QS. an-Nisâ`:1;
al-Hujurât: 13).
Satu
sosok yang diakui paling berpengaruh dalam tumbuh kembangnya sebuah generasi
adalah sosok ibu (wanita). Ada kata-kata hikmah yang menyatakan bahwa “wanita
itu tiang Negara, bila dia baik, maka baiklah negara itu. Tetapi bila wanita
itu rusak maka rusaklah negara itu”. Bisa kita bayangkan secara logis, jika
yang melahirkan, –terutama- yang mengasuh dan mendidik seorang anak adalah
sosok ibu yang rusak akhlaknya, maka akhlak anaknya itu sebagai generasi dari
sebuah Negara (peradaban) juga akan mengalami kerusakan yang tidak jauh
berbeda.
Islam
menetapkan kemuliaan seorang wanita sebagai pribadi dan sebagai bagian dari
ummat (sosial). Ada perspektif mulia tentang wanita yang pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam sabda-sabdanya;
“Dunia adalah tempat
kesenangan dan keindahan, dan sebaik-baik tempat kesenangan dan keindahan ialah
wanita shalihah”. (HR. Muslim, Ahmad, dan Nasâ`i)
“Tidaklah yang
menghormati wanita-wanita kecuali orang mulia. Dan tidaklah yang menghinakan
wanita kecuali orang yang hina pula”. (HR. Ibnu Asakir)
Sejarah menyajikan pelajaran tentang andil kaum wanita dalam
membangun peradaban yang mulia sejak zaman nabi Adam ‘alaihissalâm
hingga nabi yang terakhir, Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kita
bisa mendapatkan kisah sepanjang rentang zaman itu betapa muslimah (wanita) di
sekitar para nabi sangat berperan di
dalam membantu tugas dakwah para nabi, dan mereka adalah para teladan bagi
kehidupan setelahnya, bagi wanita juga pria. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda tentang beberapa sosok wanita yang layak dijadikan
teladan oleh kita sebagai ummat akhir zaman ini;
“Cukuplah
wanita-wanita ini sebagai panutan kalian, yaitu Maryam binti Imran, Khadijah
binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Pada
kisah nabi terdahulu, kita bisa mendapati kisah tentang Asiyah binti Muzahim.
Asiyah adalah istri Fir’aun, di tengah kezaliman dan kejahilan Fir’aun dan anak
buahnya, Asyiah menunjukkan keteguhannya dalam memegang keimanan kepada Allah
ta’ala dan Musa ‘alaihissalâm walaupun harus menanggung ujian siksaan
yang berat. Kisah tentang kemuliaan Asiyah diabadikan di dalam al-Qur`an (QS.
At-Tahrîm: 11) juga dalam al-Hadits. Kemudian peran ibu Musa ketika Musa masih
bayi, yang dengan ikhlas memenuhi perintah Allah ta’ala untuk menghanyutkan
bayinya ke sungai Nil. Lalu peran kakaknya Musa yang memantau kotak yang berisi
bayi Musa yang telah dihanyutkan itu. Kita bisa membaca juga tentang kisah
bagaimana peran Siti Hajar ibunda Isma’il ‘alaihissalâm dalam mendidik
anaknya sehingga mampu menjadi hamba Allah yang sabar dan taat kepada Allah. Kisah
ibunda dan kakak perempuan Musa juga kisah Isma’il ini diabadikan oleh Allah
ta’ala di dalam al-Qur`an, diceritakan berkali-kali dalam beberapa surat.
Maryam
binti ‘Imran adalah sosok salihat yang paling banyak disebutkan namanya dalam
Al-Qur`an, namanya juga terabadikan dalam al-Qur`an sebagai nama surat ke-19,
sedangkan nama ayahnya pada surat ke-3. Sebuah penghargaan yang luar biasa yang
telah diberikan oleh Allah kepadanya dan keluarganya. Allah ta’ala berfirman
dalam al-Qur`an, “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai
Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan
kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (QS. Âli
‘Imrân: 42). Hikmah yang juga bisa kita pelajari dari kehidupan Maryam adalah
pasangan orang tua yang shalih dan tempat tumbuh kembang yang baik untuk
menghasilkan pribadi generasi yang baik. Firman Allah ta’ala; “Hai saudara
perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu
sekali-kali bukanlah seorang pezina”.” (QS. Maryam: 28).
Para
muslimah di masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam selalu berlomba
memberikan kontribusi, peran, dan tanggungjawab mereka. Mereka ikut berlomba
meraih kebaikan meskipun mereka juga sibuk sebagai sosok istri dan ibu rumah
tangga. Mereka pun cerdas dan kritis dalam belajar kepada Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam.
Khadijah
radhiyallâhu’anhâ adalah wanita yang paling setia kepada Rasulullah, ia
telah berkorban dengan jiwa dan hartanya di masa awal-awal tugas kerasulan.
Khadijah adalah teladan para istri dalam rangka ketaatan dan dukungannya pada
suami. Khadijah adalah wanita pertama yang mengakui kenabian suaminya,
beliaulah yang paling memahami karakter dan sifat dari suaminya. “Demi
Allah, sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah
sungguh engkau telah menyambung tali silaturahim, jujur dalam berkata, membantu
orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan tamu,
dan menolong orang-orang yang terkena musibah”, ungkap Khadijah pada saat
amanah kenabian diberikan kepada Muhammad (HR. Al-Bukhari I/4 no 3 dan Muslim
I/139 no 160).
Fatimah
az-Zahra` binti Muhammad radhiyallâhu’anhâ, sejak kecil beliau menjadi
saksi pembangkangan orang-orang kafir Quraisy terhadap apa yang didakwahkan
oleh ayahnya, beliau pula yang kemudian membersihkan pakaian ayahnya saat
kotoran ditimpakan pada ayahnya. Fatimahlah yang dengan berani dan lantang
berorasi di depan kaum kafir yang telah mengganggu dan menyakiti baginda Rasul shallallâhu
‘alaihi wa sallam. Saat usianya belasan, ia ditinggal wafat ibu (Khadijah) dan
saudari-saudarinya yang lain satu per satu. Namun Fatimah tegar menghadapi
bermacam ujian itu. Bahkan kemudian Fatimahlah yang mengurusi setiap kebutuhan
dari ayahandanya. Fatimah adalah teladan bakti seorang anak kepada orang
tuanya, karena itulah ia kemudian dikenal dengan sebutan Ummu Abîhâ
(anak yang menjadi seperti ibu bagi ayahnya).
Kemudian
kita juga bisa belajar tentang andil seorang wanita dalam peradaban dari sosok Aisyah
binti Abi Bakar radhiyallâhu’anhâ. Aisyah adalah teladan tentang sosok
wanita yang mengasah kecerdasannya, ia banyak belajar dari Rasulullah kemudian
mengajarkannya kembali kepada kaum wanita dan pria. Aisyah adalah istri yang
paling dicintai oleh Rasulullah sepeninggal Khadijah, dan yang paling banyak
meriwayatkan hadits dari Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ia
meriwayatkan 2210 hadits, 279 di antaranya terdapat di dalam Shahih
Bukhari
Pernah
diceritakan pula bahwa ada seorang muslimah bernama Asma` binti Sakan yang
kerap hadir dalam pengajian Rasulullah. Pada suatu hari dia bertanya kepada
Rasulullah, “Ya Rasulullah, engkau diutus oleh Allah kepada kaum pria dan
wanita, tapi mengapa ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun
ingin seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum’at, sedangkan kami tidak;
mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad,
sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka.
Kami ingin seperti mereka”. Maka, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, “Tidak pernah aku mendapat pertanyaan
sebaik pertanyaan wanita ini. Wahai Asma`, sampaikan kepada seluruh wanita di
belakangmu, jika kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab
dalam keluarga kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum
pria tadi.” (HR. Ibnu Abdil Bar).
Ada
juga seorang muslimah pada masa Rasulullah yang diuji dengan penyakit, sehingga
dia datang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta untuk
didoakan. ‘Atha` bin Abi Rabah bercerita bahwa Ibnu Abbas radhiyallâhu’anhumâ
berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita surga?” Aku menjawab,
“Ya”. Dia melanjutkan, “Ini wanita hitam yang datang ke Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam mengadu, ‘Aku terserang epilepsi dan auratku terbuka,
maka doakanlah aku’. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu mendapatkan surga. Atau kalau kamu mau, aku
berdo’a kepada Allah agar kamu sembuh”. Wanita itu berkata, “Kalau begitu aku
sabar, hanya saja auratku suka tersingkap. Doakanlah supaya tidak tersingkap
auratku”. Maka, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendoakannya.
Ada
juga kisah muslimah yang ikut berperang seperti Nasibah binti Ka’ab yang
dikenal dengan panggilan Ummu Imarah. Dia bercerita, “Pada Perang Uhud, sambil
membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku
menemukan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sementara aku melihat
pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang
membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka,
tapi manakala Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam terpojok dan Ibnu
Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin Umair. Aku
berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia
dapat memukul pundakku sampai terluka”. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bercerita, “Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu
Imarah membentengiku pada Perang Uhud”.
Ada
juga kisah al-Khansa` -Tumadhar binti ‘Amr- yang merelakan empat anaknya wafat menjadi
syuhada` Qadisiyah. Ketika al-Khansa` mendengar berita kematian empat
puteranya dalam hari yang sama, ia sama sekali tidak meratapi kondisi itu
sembari menyakiti diri dan merusak pakaiannya, namun ia menerima berita duka
itu dengan penuh keimanan dan kesabaran. Ungkapannya waktu itu, “alhamdulillah
yang telah memberiku kemuliaan dengan kematian mereka. Aku berharap, Allah akan
mengumpulkanku dengan mereka di tempat limpahan kasih sayang-Nya”.
Dari
kisah-kisah di atas kita dapat memahami betapa besarnya peran dan tanggungjawab
wanita pada masa para Rasulullah dan salafusshâlih, mereka memberikan
kontribusi dari apa yang mereka memiliki untuk keberlangsungan dakwah para nabi
dan peradaban yang baik. Selain membantu kerja-kerja dakwah nabi, mereka juga
adalah para ibu teladan, yang darinya lahir dan tumbuh kembang generasi yang
shalih, entahkah itu lahir dari mereka sendiri ataupun tidak. Allah ta’ala
berfirman tentang kisah para nabi dan orang-orang salih dalam al-Qur`an;
“Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)
Jika
kita mencoba merinci apa saja hal mendasar yang telah mereka lakukan dalam
membina generasi yang shalih, maka sederhananya kita akan mendapati beberapa
hal berikut. Pertama, mereka totalitas dalam beriman dan taat kepada
Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Kedua, mereka memiliki perhatian yang tinggi
pada ilmu lalu menempa diri sebagai madrasah bagi anak-anak mereka, demikian
hakikatnya wanita adalah tempat pembinaan paling pertama dan mendasar bagi
seorang anak. Ketiga, mereka memilih pasangan (suami) dari orang-orang
shalih kemudian menjadi pasangan yang baik bagi suami mereka itu dalam
beribadah dan berjuang di jalan Allah ta’ala. Dan keempat, mereka
memegang peran yang baik dalam kontribusi untuk masyarakatnya, secara eksternal
yaitu memiliki peran positif dalam aktivitas kemasyarakatan pun internal dalam hal
mengondisikan nuansa kebaikan dalam rumah tangganya.
* tulisan ini juga diterbitkan dalam Majalah IQRO Dompet Dhuafa Hong Kong Edisi 97, Desember 2014
Referensi:
- Almishri, M., 2014, 35 Sirah Shahabiyah (Jilid 1 dan 2), Al-I'tishom Cahaya Umat, Jakarta
- Sulaiman, E., 2007, Khadijah dan Aisyah, Salamadani Press, Bandung
- Muhammad, A.M., 2006, Khadijah-The True Love Story of Muhammad SAW, Penerbit Pena, Jakarta
- Tim Kajian Manhaj Tarbiyah, 2010, Mar`ah Muslimah
- Feriyanto, 2012, Teladan Wanita Sepanjang Masa, http://www.dakwatuna.com/2012/04/15/19504/teladan-wanita-sepanjang-masa/#axzz3IvXSrXn5
- Aminah, N., 2010, Karakter Wanita Shalihah, http://majalah.hidayatullah.com/?p=1642
- DaarusySyifaa, 2013, Keutamaan Wanita Shalihah, http://pontrendaarusysyifaa.wordpress.com/2013/01/06/keutamaan-wanita-shalihah/
- elhakim, L., 2013, Al-Khansa Radhiyallahu'anha: Wanita Penyabar, Ibu Para Mujahid, http://thisisgender.com/al-khansa-radhiyallahuanha-wanita-penyabar-ibu-para-mujahid/
O.O
BalasHapusKenapa e? malah bengongg :D
Hapusitu, ka.. mmm... mereka emejing... mmmm,,,berasa beda langit dan bumi :'(
HapusLangit membuat mereka menapak di Bumi :)
Hapus