Sejenak
kita menengok buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mencari makna nasionalisme,
maka kita akan mendapati definisi yang sederhana tentang suatu paham untuk
mencintai bangsa dan negara sendiri. Jika diuraikan, asal katanya dari kata ‘nasional’
yang memiliki akar kata dari bahasa Latin yaitu ‘nation’ yang salah satu
maknanya adalah ‘bangsa’, kemudian digabung dengan kata ‘isme’ yang bermakna paham
atau sistem kepercayaan. Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme ini kemudian diasumsikan
berperan membangun kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara
potensial atau aktual sehingga anggota bangsa itu bersama-sama mencapai,
mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan
kekuatan bangsa mereka.
Kapan
dan bagaimana nasionalisme hadir di tengah-tengah kehidupan manusia? Ada yang berpendapat
bahwa nasionalisme mulai tumbuh dan naik daun pada abad 20 sebagai kekuatan
politik kontemporer, termasuk dalam daftar produk-produk era modern. Ada yang
merasa bahwa gagasan nasionalisme ini sudah muncul sejak masa revolusi Prancis
di akhir abad 18. Ada juga yang berpendapat bahwa ideologi ini sudah muncul
alamiah dan mendarah-daging pada diri seorang manusia sedari zaman nenek moyangnya.
Fakta yang bisa kita telisik dari sejarah Indonesia khususnya mengatakan bahwa
peperangan yang terjadi di sepanjang singgungan pribumi dengan Belanda di
Nusantara ini hingga akhir abad 19 tidak disebabkan oleh permasalahan yang
menyinggung semangat yang semakna dengan nasionalisme modern, karena ternyata
peperangan itu memiliki latar belakang sejarah yang lebih disebabkan oleh
kepentingan pribadi, politik lokal, dan ekonomi.
Secara
umum, tumbuh dan hidupnya nasionalisme di manapun akan bertemu pada beberapa
faktor yang senada, yaitu; 1) adanya campur tangan bangsa lain (misal:
penjajahan); 2) adanya keinginan dan tekad bersama untuk melepaskan diri dari
tirani agar manusia mendapatkan hak–haknya secara wajar sebagai warga negara;
3) adanya ikatan rasa senasib dan seperjuangan; dan 4) karena bertempat tinggal
dalam suatu wilayah yang sama. Friedrich Hertz dalam buku Nationality in
History and Policy mengidentifikasi adanya empat unsur nasionalisme, yaitu
hasrat untuk mencapai kesatuan, kemerdekaan, keaslian, dan kehormatan bangsa. Politik
drainase dan diskriminasi sosial yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, lalu kerinduan pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan terdahulu yang
menginspirasi kembalinya kedaulatan pada kaum pribumi, dan gerakan kaum cendekiawan
yang mempelajari gagasan-gagasan kebangsaan ala Barat, kesemuanya mendorong
nasionalisme tumbuh di Indonesia.
Dalam
catatan awal abad 20 yang dipenuhi oleh peristiwa peperangan dan kolonialisasi,
kebangkitan nasional bangsa-bangsa Asia-Afrika pun menjadi dorongan yang
signifikan bagi cikal-bakal bangsa Indonesia untuk kemudian melakukan
perlawanan atas penindasan pemerintahan kolonial. Pada rentang tahun 1904-1905
misalnya, kita menemukan kemenangan Jepang atas Rusia, kemudian peristiwa
revolusi Tiongkok pada 1911 dan pendirian partai Kuomintang oleh Sun Yan Set
yang dinilai berhasil menjadikan Cina sebagai negara merdeka pada 1912.
Nasionalisme
yang ada di Indonesia ini jika digolongkan termasuk nasionalime multikultural, yang
menunjukkan bahwa identitas bangsa Indonesia ini tersusun dari berbagai lapisan
etnis yang mengikatkan dirinya dalam satu komitmen pada institusi negara yang menjamin
kesetaraan status sebagai elemen bangsa atau warga negara. Konsep bangsa yang
seperti ini menurut Benedict Anderson adalah komunitas yang imaginer, komunitas
yang dibuat dan berada dalam imajinasi (pemikiran) setiap anggota bangsa itu.
Konsep bangsa ini menggantikan konsep kesatuan-kesatuan yang umurnya lebih tua
seperti kesatuan dinastik dan kesatuan yang berdasarkan corak agama, dan
kondisi ini terjadi di Eropa juga Asia.
Bisa
juga dikatakan bahwa nasionalisme di Indonesia adalah nasionalisme pasca
kolonial karena terdorong untuk muncul oleh himpitan kolonialisasi. Selama
proses kolonialisasi itu juga terjadi proses transfer pemahaman kepada kaum
cendekiawan bangsa Indonesia ini. Salah satu produk transfer pemahaman itu
adalah paham nasionalisme. Salah satu gagasan kerangka nasionalisme dalam
sejarah Indonesia yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
pernah dinilai sebagai bentuk infiltrasi pengetahuan Eropa tentang konsep
bangsa. Ernest Renan, seorang filosuf dan ahli peradaban dan bahasa Timur
Tengah kuno yang berkebangsaan Perancis, menyatakan bahwa sebuah nasion
memiliki unsur satu bangsa, satu tanah air, dan satu nasib.
Dalam
perkembangan gagasan pergerakan Islam, nasionalisme menjadi isu yang cukup
kontroversial. Bisa dikatakan bahwa nasionalisme tertuduh berada di balik
peristiwa terpecahnya kekhalifahan Islam pada era awal abad 20. Ide-ide nasionalisme
dan kesukuan yang dicetuskan oleh Barat ini diklaim telah berhasil membuat
negara-negara yang awalnya berada dalam kawasan kekhilafahan Islam menjadi
terpecah-pecah sebagai negara tersendiri. Salah satu pergerakan Islam yang
berkolaborasi dengan gagasan nasionalisme adalah pergerakan al-ikhwan
al-muslimun (IM) di Mesir yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna. Kolaborasi yang
dilakukan adalah memperluas perspektif dan definisi nasionalisme sehingga
nasionalisme ini bagi mereka adalah potensi untuk perjuangan dan persatuan umat
Islam.
Hasan
Al-Banna menuliskan dalam kumpulan risalah dakwahnya bahwa makna nasionalisme
yang bisa dan harus tetap dibersamai oleh pejuang muslim adalah nasionalisme
kerinduan pada tanah kelahiran, nasionalisme kehormatan dan kebebasan dari
kezaliman penjajahan, nasionalisme kemasyarakatan yang memperkuat dan
memberdayakan ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat, dan nasionalisme
yang membebaskan negara-negara dari kejahatan kolonialisasi dan imperialisme. Nasionalisme
yang diredefinisi oleh IM ini tidak berbatas pada konteks geografis, namun pada
konteks akidah. Hasan Al-Banna menyatakan dalam risalahnya; “Bagi kami,
setiap jengkal tanah di bumi ini, di mana di atasnya ada seorang Muslim yang
mengucapkan ‘Lâ Ilâha Illallâh’, maka itulah tanah air kami. Kami wajib
menghormati kemuliaannya dan siap berjuang dengan tulus demi kebaikannya.”
Sejarah
Indonesia mengumpulkan catatan bahwa para ulama dan kaum muslimin memegang
peran penting dalam perjuangan membangun dan merawat kemerdekaan bangsa
Indonesia. Para ulama melakukan edukasi kepada masyarakat di berbagai tempat
dan kesempatan tentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah, Perang
suci di Aceh, fatwa haram membantu Belanda dan fatwa wajib jihad melawan
Belanda oleh KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya, seruan persatuan membela
kemerdekaan yang telah diproklamirkan dan lain sebagainya. Artinya, buah
nasionalisme yang ada di tanah air Indonesia ini juga berawal dari benih yang
ditanam oleh mereka, para ulama dan kaum muslimin, dan perspektifnya senada
dengan perspektif nasionalisme yang telah digaungkan oleh IM di Mesir.
Jelas
sekali bagi bangsa Indonesia bahwa nasionalisme adalah sesuatu yang penting
bagi sejarah dan identitas kebangsaan mereka. Nasionalisme di Indonesia adalah
produk inspirasi intelektual yang telah disentuh oleh kearifan lokal dan
semangat jihad fî sabîlillâh. Nasionalisme yang dimiliki oleh Indonesia
memiliki komitmen sebagaimana yang dimaktubkan dalam konstitusi kenegaraannya
(UUD 1945) untuk mencerdaskan dan mewujudkan kesejahteraan generasi bangsa, melawan
penjajahan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di atas dunia dan terlibat
aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia. Bukan nasionalisme yang membengkakkan
ego hingga memantik konflik horizontal sesama warga bangsa ataupun bangsa dan
negara lain yang membuat jatuhnya wibawa dan harga diri bangsa. Apakah
perwujudan nilai, semangat, dan komitmen nasionalisme ini masih ada di
Indonesia pada masa sekarang? Tentu saja ada dan masih bisa terus didayagunakan.
Setiap diri seseorang yang tercatat sebagai warga negara Indonesia adalah
eksekutornya.
Seperti
manusia yang dilahirkan lalu tumbuh berkembang menjadi bijak oleh pembelajaran
peristiwa kehidupan, mari kita membersamai perjalanan pembelajaran Indonesia menuju
kedewasaan berbangsa dan bernegara sedari kisah perih kelahirannya hingga
kejayaannya yang didamba. Dan alangkah syahdu dan patut kita teladani jika kita
mendalami do’a yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm
kepada Allah ta’ala untuk negerinya (Makkah); “..Wahai Rabb-ku, jadikanlah
negeri ini, negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada
penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian..”.
(Al-Baqarah ayat 126).
* tulisan ini juga diterbitkan dalam Majalah IQRO Dompet Dhuafa Hong Kong Edisi 96, November 2014
Referensi:
- Thohari, A., Wisnugroho, 2010, Nasionalisme Tanpa Rakyat, Jurnal Satukata Vol. 01, Lesika, Yogyakarta
- Anderson, B., 1999, Indonesian Nationalism Today and in the Future, Indonesia, No. 67, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca
- Suyono, C.R., 2009, Peperangan Kerajaan di Nusantara, Penelusuran Kepustakaan Sejarah, PT. Grasindo, Jakarta
- Brown, D., 2001, Why might constructed nationalist and etnic ideologies come into confrontation with each other?, SEARC Working Paper Series No. 9
- Albanna, H., Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Era Intermedia, Solo
- Suryanegara, A.M., 2009, Api Sejarah 1, Salamadani Pustaka Semesta, Bandung
- http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 16 Oktober 2014
- http://history1978.wordpress.com/perangkat-sejarah/sejarah-kelas-xi-ipa/lahirnya-nasionalisme-di-indonesia/, diakses pada 16 Oktober 2014
- http://pancasila.weebly.com/pengertian-nasionalisme.html, diakses pada 16 Oktober 2014
- http://serbasejarah.wordpress.com/2012/10/19/jong-islamieten-bond-meng-islam-kan-kaum-terpelajar/, diakses pada 20 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar