Selasa, 11 Desember 2012

Sebuah Perjalanan tentang Ibu

Aku terbangun dalam gigilan yang sangat dahsyat. Rasa dingin inilah yang membuatku akhirnya harus tersadar dari tidur. Entah sejak kapan dinginnya AC bus yang aku tumpangi ini terasa semakin menggila. Sesegera mungkin aku tutup 2 katup AC di atas bangkuku, dan aku rapatkan penuh risleting jaket yang aku pakai. Syal oleh-oleh perjalanan ke Dieng yang aku bawa akhirnya terasa penuh manfaatnya, aku lilitkan tak menyisakan celah kosong di bagian leher. Aku merogoh saku mencari sarung tangan, cuma menemukan bagian tangan kanan, -innaa lillaahi- aku baru ingat kalau yang bagian kirinya jatuh tak terselamatkan di terminal beberapa jam lalu sewaktu terburu-buru naik bus. Sayangnya sandal jepit yang aku pakai tidak bisa sedikitpun diandalkan untuk mengurangi rasa dingin. Sejadinya aku meringkuk di atas bangku selebar jatah 2 bokong itu, usaha yang masih terasa sia-sia untuk menghilangkan ancaman dingin.

Bus yang aku tumpangi ini memang terhitung mubazir untuk sebuah bus AC yang besar. Dari keseluruhan jumlah bangku yang dapat memuat sekitar 60-an orang penumpang itu hanya terisi hitungan jari tangan, tidak sampai 10 orang penumpang. Aku sendiri duduk di atas jatah dua orang. Mungkin ini juga yang membuat proses transfer kalor antara suhu ruangan dan suhu tubuh orang-orang di dalamnya malah membuat dingin menjadi sangat berlebih. Ditambah lagi kondisi fisikku yang belum benar-benar pulih setelah sehari kemarin terserang masuk angin.

Rasa-rasanya aku akan ditemukan mati karena hipotermia besok pagi oleh supir dan kondektur bus jikalau penderitaan dingin ini -yang semakin mendahsyat- tidak segera dihentikan oleh berhentinya bus di sebuah rumah makan yang menjadi mitranya. Secara otomatis pemberhentiannya itu mematikan sistem AC-nya, alhamdulillaah. Bergegas sambil menggigil kedinginan aku keluar dari bus untuk memanfaatkan kupon makan gratis yang bisa aku tukar-tambah dengan makanan penambah kalori tubuh. Setelah makan, shalat Isya, dan agenda bersih-bersih lainnya, aku mulai bisa berfikir jernih -dan tentunya menulis :D-.

Perjalananku malam ini adalah perjalanan dalam rangka misi yang mulia, memenuhi panggilan ibu, maka aku harus sampai di tujuan dengan kondisi yang prima. Kata-kata “ibu kangen Iq” seperti kalimat mantra yang ampuh untuk membuatku sekejap menghilang dari Yogyakarta dan menempuh perjalanan ke kampungku di Ciamis. Semenjak di rumah tinggal ibu-bapak saja berdua karena anak-anaknya sudah lengkap merantau semua, aku jadi sering pulang kampung, sekedar untuk mengobati mereka dari kesepian juga mengobati rinduku. “bapak mah sudah balik modal”, begitu candaan bapakku ketika berbagi cerita ke teman-temanku tentang kondisi mereka berdua itu. Apa biasanya yang aku lakukan sesampainya di sana? Sederhana saja, cukup ngobrol santai dengan beliau, mengantar dan ikut belanja dengan beliau, ikut jalan-jalan dengan beliau, memuji masakan-masakan beliau, duduk manja bersandar di bahu atau paha beliau selepas beliau shalat di ruang keluarga, makan bersama, dan lain-lain yang intinya adalah kebersamaan hati dan fisik yang berintegrasi.

Baru-baru ini aku faham dari sebuah ilmu biologi mengapa ibu adalah satu-satunya orang yang puaallliing khawatir ketika tahu anaknya ini dengan kenakalan dan kenekatannya berani menembus jalanan Yogyakarta-Ciamis sendirian di atas motor. Pernah beliau sampai menangis ketika melihat anaknya ini sampai di rumah bersama motor dari Yogyakarta, itu gara-gara aku tidak memberitahukan perjalananku itu sebelumnya ke beliau. Adalah hormon Oksitosin, ini dia penyebabnya! Hormon oksitosin ini berperan menghasilkan ikatan batin antara ibu dan anak yang dilahirkan olehnya. Sewaktu seorang ibu melahirkan, hormon oksitosin ini terpancar keluar dari tubuhnya. Efeknya adalah, dia mencintai sesuatu yang membuat dia mengeluarkan hormon oksitosin itu, anak yang dia lahirkan. Begitulah cara kerja hormon oksitosin.

Ibu, aku sangat bersyukur dilahirkan dari seorang ibu yang –kata kebanyakan orang- galak. Segalak-galaknya beliau, batasannya jelas, pada aspek moral, intelektual, dan spiritual. Beliau sangat galak jika dihadapkan dengan kenakalan anak-anaknya dan murid-muridnya di SMAN 1 Kawali. Beliau sangat galak ketika menemukan muridnya yang bebal. Beliau sangat galak ketika mengetahui anaknya lalai ibadah. Beliau sangat galak dan hampir selalu ribut ketika melihat bapakku merokok. Karakternya yang demikian ini buah dari didikan kakekku, bapak Tubagus Ahmad Sanusi yang –kata kebanyakan orang dan anak-anaknya- sangat galak, tapi paling baik di antara saudara-saudari kandungnya. Dari mana pula karakter kakekku itu? Dari mbah buyutku, bapak Tubagus Mansyur (alm.) yang –kata kebanyakan orang, anak-anak, dan cucu-cucunya- lebih daripada sangat galak!! Kegalakan-kegalakan itulah yang mengiringi masa-masa pertumbuhanku, membuatku kritis melihat ketidakberesan (oh ya?! :p #ngaca), walau pembawaanku –kayaknya- lebih ngikut ke bapakku yang cuek dan low profile.

She’s my mom, seorang wanita yang hebat, yang pernah aku kenal sepanjang hidupku. Belum pernah aku mengenal secara langsung seorang wanita yang suangngat rajin tahajud, suangngat rajin shoum, suangngat rajin dhuha, suangngat rajin ngaji dan ngajar ngaji, suangngat rajin sedekah -dan suangngat rajin dalam aktivitas-aktivitas positif lainnya- selain daripada beliau. Beruntung sekali bapakku, beruntung sekali kakak-kakak dan adik-adikku. *Semoga istriku nanti jauh lebih baik dari beliau #eh –aamiin-.

Waktu yang tertulis di jam digital bus sudah menunjukkan angka menjelang tengah malam. Mesin bus sudah dinyalakan sedari beberapa menit yang lalu, sepertinya sudah akan kembali beranjak melanjutkan perjalanan ke arah Tasik. Ini baru setengah perjalanan, Kebumen. Untuk sampai di alun-alun kota Ciamis membutuhkan waktu sekitar 3 jam lagi, dan dari alun-alun kota Ciamis aku harus menempuh waktu sekitar 30 menit menggunakan jasa minibus untuk menuju Kawali, kampungku.

Ok, sebaiknya aku melanjutkan tidur. Sudah hampir dari setengah jumlah total katup AC di dalam bus ini yang aku tutup :D, insyaa-Allaah bisa tidur lebih nyaman dan semoga tidak bablas dari titik akhir tujuan perjalanan, alun-alun kota Ciamis. Ibu, bapak, anakmu baik-baik saja di perjalanan, sampai jumpa di Kawali.

10 Desember 2012, dalam perjalanan rindu




2 komentar: