Pagi hari tadi akhirnya aku
berhasil mewujudkan tujuanku, aku sampai di kampung halaman dengan selamat,
lalu berbincang ringan dengan ibuku, alhamdulillaah.
Dari beragam bahasan sampailah ibuku itu berbicara tentang saudara sepupuku
yang berencana menikah. Obrolan yang sensitif untuk mahasiswa seumuranku,
sebagaimana yang sering terjadi di kampus. Jadilah aku akhirnya terlibat
mencurahkan segenap gagasanku tentang tema itu ke ibuku, bertanya-tanya berapa
biaya umum yang dikeluarkan untuk sebuah prosesi pernikahan dan paket
walimahannya sampai bercerita rencana targetan waktuku untuk menikah. Singkat
dan sederhana sekali respon beliau, “silakan saja dengan siapa pun dan kapan
pun, asalkan salihah, bagus agamanya, dan jangan sampai merepotkan ibu”.
Setiap anak laki-laki nampaknya
menghadapi kasus yang mirip ketika membahas isu ini. Tantangannya adalah
jaminan kesiapan ekonomis. Kerja dan gaji adalah sesuatu yang secara rasional
harus diiringkan untuk ketenangan lahir-batin orang tua kita. Dalam obrolan
ringanku dengan ibuku pagi itu saja ibuku membeberkan daftar rincian kasar uang
yang pernah beliau keluarkan untuk pernikahan kakak pertamaku, satu-satunya
saudara kandungku yang laki-laki. Seketika mulutku menganga tanpa sadar, mataku
pun ikut membelalak, “maasyaa-Allaah, gede
buanget biayanya!”. “Yaa salaam, berapa tahun aku harus mengumpulkan uang
sejumlah itu?”, gumamku dalam hati tak tertahankan.
“ibu, Iqbal harus kerja dan nabung berapa bulan ya kalo harus total
segitu uang yang dikeluarkan tanpa ngerepotin ibu? Kayaknya bertahun-tahun ya
bu”, responku sontak dengan muka lesu. “yaa..
pokoknya Iqbal udah kerja dan punya penghasilan”, jawab ibuku, rasanya itu
pernyataan yang menurunkan standar pernyataan beliau sebelumnya, tapi belum
mengurangi respon lesuku. Sekarang ini aku memang sudah bisa dikatakan ‘sudah
kerja dan berpenghasilan’, namun melihat sirkulasi pemasukan dan pengeluaranku
setiap bulannya, yang terjadi masih hanya tambal-sulam, bahkan seringkali melakukan
outsourcing (pinjam) sampai akhirnya
orang tua malah ikut nombokin
kekurangannya. Aku kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil memijiti kaki
ibuku, seketika muncul bayangan rencana usaha, tabungan, dan rentetan hari
penuh puasa dan hafalan Al-Qur’an untuk membantu menahan diri.
Seorang teman pernah menanggapi kasus
seperti ini, “sekarang zaman sudah
terbalik ya bro, zaman Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- orang-orang
yang gak mampu itu menikah atau dinikahkan agar mereka kaya, sekarang lain,
orang-orang malah nunggu sampe kaya baru
nikah”. Aku renungkan kalimat temanku itu, ada gemetar pengakuan, seketika teringat
dengan firman Allah ta’ala dalam surah
An-Nuur ayat 32:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.
Oke, daripada bermuram durja, lebih
baik aku terus bekerja saja. Bekerja membangun pribadi yang salih dan menebar
banyak kebermanfaatan. Memastikan diri menjadi sosok yang layak mendapatkan beragam
kebaikan, termasuk kebaikan rizki berupa kepercayaan dari orang-orang yang kita
cintai, pendamping hidup yang melengkapi, dan keluarga yang penuh ketentraman,
cinta, serta kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar