Kamis, 13 Desember 2012

Sepotong Dialog tentang Episod Masa Depan


Pagi hari tadi akhirnya aku berhasil mewujudkan tujuanku, aku sampai di kampung halaman dengan selamat, lalu berbincang ringan dengan ibuku, alhamdulillaah. Dari beragam bahasan sampailah ibuku itu berbicara tentang saudara sepupuku yang berencana menikah. Obrolan yang sensitif untuk mahasiswa seumuranku, sebagaimana yang sering terjadi di kampus. Jadilah aku akhirnya terlibat mencurahkan segenap gagasanku tentang tema itu ke ibuku, bertanya-tanya berapa biaya umum yang dikeluarkan untuk sebuah prosesi pernikahan dan paket walimahannya sampai bercerita rencana targetan waktuku untuk menikah. Singkat dan sederhana sekali respon beliau, “silakan saja dengan siapa pun dan kapan pun, asalkan salihah, bagus agamanya, dan jangan sampai merepotkan ibu”.

Setiap anak laki-laki nampaknya menghadapi kasus yang mirip ketika membahas isu ini. Tantangannya adalah jaminan kesiapan ekonomis. Kerja dan gaji adalah sesuatu yang secara rasional harus diiringkan untuk ketenangan lahir-batin orang tua kita. Dalam obrolan ringanku dengan ibuku pagi itu saja ibuku membeberkan daftar rincian kasar uang yang pernah beliau keluarkan untuk pernikahan kakak pertamaku, satu-satunya saudara kandungku yang laki-laki. Seketika mulutku menganga tanpa sadar, mataku pun ikut membelalak, “maasyaa-Allaah, gede buanget biayanya!”. “Yaa salaam, berapa tahun aku harus mengumpulkan uang sejumlah itu?”, gumamku dalam hati tak tertahankan.

ibu, Iqbal harus kerja dan nabung berapa bulan ya kalo harus total segitu uang yang dikeluarkan tanpa ngerepotin ibu? Kayaknya bertahun-tahun ya bu”, responku sontak dengan muka lesu. “yaa.. pokoknya Iqbal udah kerja dan punya penghasilan”, jawab ibuku, rasanya itu pernyataan yang menurunkan standar pernyataan beliau sebelumnya, tapi belum mengurangi respon lesuku. Sekarang ini aku memang sudah bisa dikatakan ‘sudah kerja dan berpenghasilan’, namun melihat sirkulasi pemasukan dan pengeluaranku setiap bulannya, yang terjadi masih hanya tambal-sulam, bahkan seringkali melakukan outsourcing (pinjam) sampai akhirnya orang tua malah ikut nombokin kekurangannya. Aku kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil memijiti kaki ibuku, seketika muncul bayangan rencana usaha, tabungan, dan rentetan hari penuh puasa dan hafalan Al-Qur’an untuk membantu menahan diri.

Seorang teman pernah menanggapi kasus seperti ini, “sekarang zaman sudah terbalik ya bro, zaman Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- orang-orang yang gak mampu itu menikah atau dinikahkan agar mereka kaya, sekarang lain, orang-orang malah nunggu sampe  kaya baru nikah”. Aku renungkan kalimat temanku itu, ada gemetar pengakuan, seketika teringat dengan firman Allah ta’ala dalam surah An-Nuur ayat 32:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Oke, daripada bermuram durja, lebih baik aku terus bekerja saja. Bekerja membangun pribadi yang salih dan menebar banyak kebermanfaatan. Memastikan diri menjadi sosok yang layak mendapatkan beragam kebaikan, termasuk kebaikan rizki berupa kepercayaan dari orang-orang yang kita cintai, pendamping hidup yang melengkapi, dan keluarga yang penuh ketentraman, cinta, serta kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar