Kamis, 06 Desember 2012

Refleksi Tali Terompah


Awal Desember ini seperti tidak lepas dari kejadian yang menagih refleksi. Setelah kemarin dalam waktu yang berdekatan si Marun (helm) terjatuh lalu rusak dalam umurnya yang masih muda dan kemudian si Acung (Handphone) yang terjatuh lalu raib di rimba jalan raya, hari ini aku harus membuat seorang anak manusia terjatuh lalu terkapar setelah Hamraa (motor) yang aku tunggangi menabrak sepeda yang dia gunakan untuk menyeberangi jalan raya siang hari yang ganas memanas. Aku merasa kacau sekali waktu itu, terburu-buru mengejar keterlambatan sampai-sampai lupa memenuhi ruang kesadaran di jalanan. Fatal akibatnya karena mempertaruhkan banyak hal. Ini pertaruhan nyawa, harta, dan harga diri;
nyawa manusia dan harga diri seorang muslim untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Karena yang aku ketahui biasanya dalam posisi demikian si pengguna motor akan mendapatkan poin kesalahan yang lebih besar meskipun si pengguna sepeda juga bersalah karena tidak menyeberang pada tempat seharusnya.

Yang terjadi waktu itu ketika mobil di depanku beranjak dari posisi lurusnya kemudian sekonyong-konyong muncul sepeda dari arah yang tegak lurus dari arahku, di dalam lintasan fikiranku hanya ada sekelebat ruang hampa, kosong, tangan dan kaki seperti tak kuasa memfungsikan rem, lalu ******* terjadilah apa yang terjadi, aku menabraknya lalu tertimpa motorku yang terjatuh dan terseret sampai beberapa meter. Aku masih sadar untuk kemudian bangkit dan menepikan motorku, dan seketika menengok ke belakang ada seorang pemudi terkapar di samping sepeda kampus UGM nomor 0375 yang velg-nya roda depannya tak lagi berbentuk lingkaran simetris. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, hanya zikir, hilang semua kata-kataku menyisakan bisikan batin, ‘Rabb.. skenario apa lagi yang harus aku jalani setelah mengenal jatuh berkali-kali?’.

Aku tidak melihat tetesan darah dan pakaian yang terkoyak, dan itu seperti transfer energi tambahan untuk meneguhkan keyakinan bahwa ini tidak akan berlanjut lama, insyaa-Allaah. Setelah korban meringis sambil memegangi kepala, barulah aku faham bahwa lukanya adalah luka benturan di kepala. Alhamdulillaah tak lama ada seorang pegawai kampus di gedung Sekolah Vokasi UGM yang berbaik hati mengantarkannya menuju GMC (Gadjah Mada Medical Center) untuk menjalani diagnosis dan pengobatan, lalu aku harus bersedia menahan diri sementara waktu di tempat kejadian perkara, menunggu petugas Polisi memenuhi kebutuhan informasi yang dia butuhkan untuk laporan-laporan dan sejenisnya dengan menanyaiku sebagai tersangka dan menanyai beberapa orang di sekitar sana sebagai saksi.

Pada akhirnya GMC tidak bisa memenuhi kebutuhan diagnosis dan perawatan karena Putri (sebut saja demikian) waktu itu tidak bisa mengingat kejadian-kejadian setelah ditabrak, lalu diantarkanlah dia ke RSUP DR Sardjito yang bisa memenuhi peran lebih dari sekedar GMC. Sedangkan nasibku mengatakan harus akrab dengan Polisi sehingga persinggahanku berikutnya adalah kantor Polisi Sektor (Polsek) Bulaksumur.

Hampir saja aku harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki karena Hamraa harus diamankan di Polsek setelah mendapatkan kabar bahwa Putri akan dirawat inap di RSUP DR Sardjito –dan diartikan oleh Polisi sebagai opname-. Namun takdir mengatakan lain, Putri memaksa untuk keluar dari RSUP DR Sardjito dan pulang ke kosnya sehingga tidak jadi memenuhi status rawat inap. Demikian artinya Hamraa bisa kembali menjalani kesehariannya denganku tanpa jeda waktu yang lama, dengan syarat; aku dan Putri bersepakat di kantor Polsek Bulaksumur menyatakan kasus ini tidak diperpanjang. Setelah itu Putri kembali ke dunianya, aku pun demikian, yang tersisa adalah sebuah pesan dari telepon ayahnya Putri untuk memastikan anaknya terus aku pantau dan tangani sampai benar-benar dipastikan kembali sehat.

Di saat-saat seperti ini aku selalu teringat sebuah cerita tentang Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, suatu ketika kaki beliau terantuk batu lalu putuslah tali terompah beliau. Kejadian tersebut kemudian melahirkan refleksi yang mendalam bagi beliau; “kesalahan apakah yang telah aku perbuat hingga Allah memperingatkanku dengan putusnya tali terompah ini?”. Cerita ini selalu sukses membuat mukaku memerah malu dan mataku menghangat basah, dari sebuah perkara sesepele putusnya tali terompah saja beliau –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sangat memperhitungkan dan waspada, sangat mawas pada perilaku diri. Lalu aku merenungkan semua, jika perkara urusanku ini ternyata dirasa lebih besar dari sekedar putusnya tali terompah, kira-kira refleksi sedahsyat apa yang seharusnya aku bangun?

Aku berfikir dan berfikir, aku merenung dan merenung, yang sementara hadir dalam batin hanya sekumpulan kata. “Ya Rabb, hamba mohon ampun atas kezaliman yang hamba perbuat, hamba mohon ampun atas kebodohan yang tidak hamba sadari telah hamba pupuk, hamba mohon petunjukMu untuk bisa menegaskan diri dalam perbaikan-perbaikan menujuMu. Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang, syukur hamba kepadaMu sehingga hamba disegerakan untuk merasakan efek kezaliman yang hamba perbuat di fananya kehidupan dunia, karena hamba tahu akhiratMu yang kekal akan melipatgandakan konsekuensi sebuah perbuatan.

5 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar