Awal Desember ini seperti tidak
lepas dari kejadian yang menagih refleksi. Setelah kemarin dalam waktu yang
berdekatan si Marun (helm) terjatuh lalu
rusak dalam umurnya yang masih muda dan kemudian si Acung (Handphone) yang terjatuh lalu raib di rimba jalan raya, hari ini
aku harus membuat seorang anak manusia terjatuh lalu terkapar setelah Hamraa
(motor) yang aku tunggangi menabrak sepeda yang dia gunakan untuk menyeberangi
jalan raya siang hari yang ganas memanas. Aku merasa kacau sekali waktu itu,
terburu-buru mengejar keterlambatan sampai-sampai lupa memenuhi ruang kesadaran
di jalanan. Fatal akibatnya karena mempertaruhkan banyak hal. Ini pertaruhan
nyawa, harta, dan harga diri;
nyawa manusia dan harga diri seorang muslim untuk
bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Karena yang aku
ketahui biasanya dalam posisi demikian si pengguna motor akan mendapatkan poin kesalahan
yang lebih besar meskipun si pengguna sepeda juga bersalah karena tidak
menyeberang pada tempat seharusnya.
Yang terjadi waktu itu ketika
mobil di depanku beranjak dari posisi lurusnya kemudian sekonyong-konyong
muncul sepeda dari arah yang tegak lurus dari arahku, di dalam lintasan fikiranku
hanya ada sekelebat ruang hampa, kosong, tangan dan kaki seperti tak kuasa
memfungsikan rem, lalu ******* terjadilah apa yang terjadi, aku menabraknya
lalu tertimpa motorku yang terjatuh dan terseret sampai beberapa meter. Aku
masih sadar untuk kemudian bangkit dan menepikan motorku, dan seketika menengok
ke belakang ada seorang pemudi terkapar di samping sepeda kampus UGM nomor 0375
yang velg-nya roda depannya tak lagi
berbentuk lingkaran simetris. Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, hanya zikir, hilang semua kata-kataku
menyisakan bisikan batin, ‘Rabb.. skenario apa lagi yang harus aku jalani
setelah mengenal jatuh berkali-kali?’.
Aku tidak melihat tetesan darah
dan pakaian yang terkoyak, dan itu seperti transfer energi tambahan untuk
meneguhkan keyakinan bahwa ini tidak akan berlanjut lama, insyaa-Allaah. Setelah korban meringis sambil memegangi kepala,
barulah aku faham bahwa lukanya adalah luka benturan di kepala. Alhamdulillaah tak lama ada seorang pegawai
kampus di gedung Sekolah Vokasi UGM yang berbaik hati mengantarkannya menuju
GMC (Gadjah Mada Medical Center)
untuk menjalani diagnosis dan pengobatan, lalu aku harus bersedia menahan diri sementara
waktu di tempat kejadian perkara, menunggu petugas Polisi memenuhi kebutuhan
informasi yang dia butuhkan untuk laporan-laporan dan sejenisnya dengan
menanyaiku sebagai tersangka dan menanyai beberapa orang di sekitar sana
sebagai saksi.
Pada akhirnya GMC tidak bisa
memenuhi kebutuhan diagnosis dan perawatan karena Putri (sebut saja demikian)
waktu itu tidak bisa mengingat kejadian-kejadian setelah ditabrak, lalu
diantarkanlah dia ke RSUP DR Sardjito yang bisa memenuhi peran lebih dari
sekedar GMC. Sedangkan nasibku mengatakan harus akrab dengan Polisi sehingga
persinggahanku berikutnya adalah kantor Polisi Sektor (Polsek) Bulaksumur.
Hampir saja aku harus melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki karena Hamraa harus diamankan di Polsek setelah
mendapatkan kabar bahwa Putri akan dirawat inap di RSUP DR Sardjito –dan diartikan
oleh Polisi sebagai opname-. Namun takdir
mengatakan lain, Putri memaksa untuk keluar dari RSUP DR Sardjito dan pulang ke
kosnya sehingga tidak jadi memenuhi status rawat inap. Demikian artinya Hamraa
bisa kembali menjalani kesehariannya denganku tanpa jeda waktu yang lama,
dengan syarat; aku dan Putri bersepakat di kantor Polsek Bulaksumur menyatakan
kasus ini tidak diperpanjang. Setelah itu Putri kembali ke dunianya, aku pun
demikian, yang tersisa adalah sebuah pesan dari telepon ayahnya Putri untuk
memastikan anaknya terus aku pantau dan tangani sampai benar-benar dipastikan
kembali sehat.
Di saat-saat seperti ini aku selalu
teringat sebuah cerita tentang Rasulullah –shallallaahu
‘alaihi wa sallam-, suatu ketika kaki beliau terantuk batu lalu putuslah
tali terompah beliau. Kejadian tersebut kemudian melahirkan refleksi yang
mendalam bagi beliau; “kesalahan apakah
yang telah aku perbuat hingga Allah memperingatkanku dengan putusnya tali
terompah ini?”. Cerita ini selalu sukses membuat mukaku memerah malu dan
mataku menghangat basah, dari sebuah perkara sesepele putusnya tali terompah
saja beliau –shallallaahu ‘alaihi wa
sallam- sangat memperhitungkan dan waspada, sangat mawas pada perilaku diri.
Lalu aku merenungkan semua, jika perkara urusanku ini ternyata dirasa lebih
besar dari sekedar putusnya tali terompah, kira-kira refleksi sedahsyat apa
yang seharusnya aku bangun?
Aku berfikir dan berfikir, aku
merenung dan merenung, yang sementara hadir dalam batin hanya sekumpulan kata. “Ya Rabb, hamba mohon ampun atas kezaliman
yang hamba perbuat, hamba mohon ampun atas kebodohan yang tidak hamba sadari
telah hamba pupuk, hamba mohon petunjukMu untuk bisa menegaskan diri dalam
perbaikan-perbaikan menujuMu. Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang, syukur
hamba kepadaMu sehingga hamba disegerakan untuk merasakan efek kezaliman yang
hamba perbuat di fananya kehidupan dunia, karena hamba tahu akhiratMu yang
kekal akan melipatgandakan konsekuensi sebuah perbuatan.”
5 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar