Hari ini adalah hari keduaku
mengikuti pertemuan nasional mahasiswa PBSB DEPAG RI di Tambak Beras, Jombang.
Bagi yang lain ini adalah hari ketiganya, karena aku baru bergabung di hari
kedua. Kantuk sisa semalam rasa-rasanya masih tersisa sehingga banyak agenda
hari ini yang aku selingi dengan ‘kegiatan’ mengantuk. Kantuk sisa semalam
suntuk menjelajah jalanan Jombang-Surabaya, demi memenuhi euforia kedatanganku
di Jawa Timur. Berbekal pinjaman motor, helm, dan seorang rekan seperjuangan di
kampus, jadilah malam Ahad 2 Desember ini berasa touring singkat; berkeliling dan tersesat di kota Surabaya untuk
sekedar mencari patung Suro-Boyo yang terkenal, bereksperimen dengan kamera handphone yang minimalis dan gambar
hasil yang selalu memburam kurang cahaya, berkenalan dengan gigitan
nyamuk-nyamuk liar di pinggiran Kebun Binatang Surabaya, mencuci muka dengan
gerimis malam Jawa Timur, menikmati keindahan dan kebersihan kota Surabaya,
menyaksikan secara langsung tempat kejadian perkara Lumpur Lapindo Sidoarjo,
dan meneropong sejumput kehidupan malam Surabaya.
1 hal yang meninggalkan kesan
untuk hari ini, MURI dan DEPAG RI. Lagi-lagi aku dipertemukan dengan
orang-orang MURI. Kali ini mereka hendak mendokumentasikan rekor atas penulisan
esay terbanyak oleh mahasiswa PBSB DEPAG RI. Kabarnya ada sekitar 1700-an esay,
angka yang aku sangsikan karena tidak ada objektifikasi dan yang aku ketahui
banyak dari para peserta pertemuan nasional yang tidak mengerjakan tugas esay.
Jadi? Entah, di setiap momen penganugerahan rekor MURI rasanya selalu sama,
kita membeli sebuah gelar dengan uang jutaan rupiah, sedang ukuran kepantasan
itu urusan media yang mengemas, tidak ada verifikasi detail otomatis mungkin
saja data angkanya tidak valid alias bohong. Aku menyatakan ini karena sempat
merasakan langsung menjadi bagian dari Event
Organizer yang berurusan dengan rekor MURI di kampusku, tahun 2010 silam.
Banyak yang bersusah payah
mencari citra baik tapi sedikit yang memastikan diri mempersembahkan kontribusi
yang terbaik. Terjebak dengan simbol, mengurung diri dalam kejumawaan lalu lupa
menengok kenyataan hingga yang muncul di matanya adalah kepalsuan-kepalsuan.
Semoga kita semua terhindar dari kebanggan simbolik.
Oke, sampai jumpa di catatan
berikutnya! Sekarang aku harus membantu perjuangan rekan-rekan penumpang se-bus
untuk menyelamatkan bus yang kami tumpangi dari jebakan tanah lumpur J. *teringat kejadian
truk amblas sewaktu KKN di Sambas beberapa bulan silam*. Butuh tenaga dan
kesabaran ekstra untuk menerima kenyataan bahwa kepulangan kami menuju harus
terhambat tanah lumpur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar