Rabu, 12 Desember 2012

BEM dan PEMIRA di Mataku: Sebuah Catatan Singkat Perjalanan dan Pemikiran


Suasana kampus nampaknya sudah mulai kembali hiruk-pikuk dengan gambar-gambar calon ketua organisasi mahasiswa, khususnya organisasi mahasiswa bernama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Hiruk-pikuk momentum regenerasi tahunan ini dikemas dalam konsep demokrasi yang berwujud pemilihan langsung (PEMILU) dan diikuti oleh seluruh entitas mahasiswa program strata 1 (S-1) dan Diploma (Sekolah Vokasi, SV) UGM. untuk konteks fakultasku dinamai Pemilihan Umum Teknik (PEMILU Teknik) dan untuk konteks skala Universitas dinamai Pemilihan Raya Mahasiswa (PEMIRA). Sebagai mahasiswa yang sampai sekarang masih menekuni Tugas Akhir kuliah, insyaa-Allaah –jika Allah ta’ala menghendaki ada umur yang sampai- ini akan menjadi PEMILU Teknik dan PEMIRA ke-6 yang aku ikuti dan sekaligus terakhir. Fyuhh, rasanya aku berada dalam perjalanan yang cukup panjang di kampus ini ketika melihat angkanya.


Aku menekuni aktivitas ke-BEM-an sejak semester pertama menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik (FT) UGM. Kultur aktivitas semasa jenjang SLTA dan karakterku yang memang gila kerja juga idealis membuatku langsung jatuh cinta pada BEM sewaktu pertama kali kami bertemu di masa orientasi dan inisiasi kampus, SPUTNIK (Sarana Pengenalan Kampus Teknik) dan P4T (Pekan Pengenalan Pembelajaran Perguruan Tinggi). Waktu itu yang menjadi ketua BEM di Fakultasku (KMFT) adalah Widya Adi Nugroho, mahasiswa Teknik Elektro angkatan 2005, dan Presiden Mahasiswa di BEM Keluarga Mahasiswa (KM) UGM adalah Agung Budiono, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) angkatan 2003. Aku menjalani aktivitas di BEM mulai dari sebagai staf sebuah Departemen di BEM KMFT periode 2007, hingga akhirnya pada tahun 2011 dipercayakan oleh Presiden Mahasiswa BEM KM UGM periode 2011 untuk beramanah mendampinginya mengurus BEM KM dan mengawal kebijakan-kebijakan Internal kampus.

Di BEM aku mulai belajar mengenal realitas masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta dan kampus UGM. Dilibatkan masuk ke panti asuhan untuk mengajar secara sukarela, masuk ke desa-desa di pedalaman Yogyakarta untuk menerapkan ilmu keteknikan dan beragam ilmu lainnya, masuk ke kelas-kelas kuliah untuk menggalang dana sosial, masuk ke dalam jiwa-jiwa rekan sekampus untuk mengajak mereka terlibat aktif membina masyarakat, masuk ke dalam sejarah dan catatan keluarga dari ratusan mahasiswa agar distribusi beasiswa Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dan Bantuan Pendidikan (BP) berlangsung tepat sasaran, masuk ke dalam kantor dekan, rektor, dan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk berdiskusi dan mencari jalan keluar dari problematika mahasiswa dan kebijakan-kebijakan yang ada di dalam kampus juga Indonesia, masuk ke dalam barisan orang yang berdemonstrasi damai untuk ikut protes dan mengajukan perbaikan kebijakan -dalam kampus, dalam negeri, maupun luar negeri- di jalanan sampai halaman Istana Negara, masuk ke dalam ruang-ruang seminar rekonsiliasi kasus, masuk ke dalam majelis-majelis kajian dan pendalaman isu, masuk ke dalam kelas-kelas pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM), dan lain sebagainya.

BEM dikatakan sebagai miniatur Pemerintahan Negara, yang mengelolanya adalah mahasiswa. BEM tidak berada dalam garis hierarkis di bawah pengurus Universitas. Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kepmendikbud RI) Nomos 155 tahun 1998, BAB III tentang Kedudukan, Fungsi, dan Tanggung Jawab, pasal 4, dinyatakan bahwa ‘Kedudukan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan’. Kemudian dari pasal-pasal lainnya dalam Kepmendikbud RI itu bisa aku simpulkan bahwa sesungguhnya semua aktivitas yang anak-anak BEM lakukan adalah belajar, belajar peduli dan belajar mengurusi permasalahan, tidak muluk-muluk sampai menyelesaikan permasalahan dengan tuntas. Kalaupun tuntas, maka itu adalah buah dari kolaborasi antara waktu dan perjuangan yang terus diwariskan. Mereka juga belajar bertanggungjawab kepada masyarakat atas bantuan yang mereka terima dari masyarakat dalam bentuk subsidi pendidikan sehingga mereka bisa berkuliah. Di antara mereka kemudian ada yang bercita-cita kelak menjadi Presiden atau Menteri agar kepuasan mereka dalam kontribusi membantu masyarakat bisa terasa lebih besar, namun ada juga yang kapok lalu mundur dari cita-cita itu setelah merasakan beratnya beban yang harus mereka pikul meskipun dalam skala sekecil kampus.

Keberadaan KM UGM -termasuk di dalamnya adalah BEM KM, Senat KM, Lembaga Eksekutif dan Legislatif Mahasiswa Fakultas, dan Himpunan-Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program Studi-, memiliki tujuan dan fungsi yang mulia. dalam Anggaran Dasarnya (AD) tertulis jelas bahwa tujuan KM UGM adalah ‘mengusahakan terwujudnya mahasiswa yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bewawasan luas, cendikia, memiliki integritas, berkepribadian, bertanggungjawab, serta berkepedulian sosial’. Fungsinya juga sangat jelas tertulis di sana;
  1. Menggali aspirasi secara umum;
  2. Menindaklanjuti aspirasi yang timbul dari mahasiswa UGM dalam bentuk kebijakan dan/atau program;
  3. Menanggapi dinamika eksternal dan internal kampus UGM untuk diabdikan kepada kepentingan mahasiswa khususnya serta bangsa dan negara;
  4. Membawa aspirasi mahasiswa UGM dan berinteraksi dengan berbagai elemen perubahan segala lini atau tingkatan;
  5. Melakukan negosiasi dengan pengurus Universitas  berkenaan dengan kebijakan keuangan dan distribusi dana kegiatan KM UGM;
  6. Melakukan negosiasi dengan pengurus universitas yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa dengan tidak melanggar prinsip-prinsip, sifat, tujuan, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan;
  7. Membela  kepentingan mahasiswa, masyarakat luas dalam bentuk dan skala tertentu sesuai dengan sifat, semangat, prinsip dan tujuan KM UGM.


Dari se-abreg urusan yang aku tulis di paragraf atas ini, maka aku seringkali menemukan sosok-sosok yang habis waktu dan uangnya untuk mengurus lembaga dan orang lain. Ketika mahasiswa lain asyik mengerjakan tugas-tugas kuliahnya dalam hingar-bingar canda bersama pacar atau rekan-rekan sekelasnya, mereka harus rela membawa tugas-tugas kuliah itu ke sekretariat agar tidak tertinggal diskusi perkembangan kegiatan atau kasus. Ketika mahasiswa lain umumnya sudah tertidur lelap atau nongkrong asyik di warung angkringan, burjo, atau tempat-tempat dugem, mereka harus rela rapat koordinasi dan konsolidasi di sebuah tempat terbatas untuk sebuah strategi pergerakan sosial-politik karena pagi-sore mereka sudah habis untuk agenda akademik, lembaga, dan pribadi. Ketika mahasiswa lain umumnya berakhir pekan bersama keluarga atau teman, mereka seringkali berakhir pekan dengan pelatihan-pelatihan dan event lalu menegaskan untuk menghibur diri bahwa para panitia adalah keluarga mereka dan aktivitas yang mereka lakukan kelak mengantarkan pada kejayaan bangsa. Ketika mahasiswa lain umumnya berpuas dalam membelanjakan uang saku, mereka harus berfikir berkali-kali ketika akan menggunakannya untuk pribadi sepenuhnya karena suatu saat mungkin harus mengeluarkannya untuk kegiatan yang sedang mereka urus. Ketika mahasiswa umumnya bisa berpuas-puas mengambil kredit kuliah di setiap semesternya, mereka harus rela mengambil sekedar ¾ sampai ¼-nya saja dari jatah maksimal kredit yang bisa mereka ambil demi rasionalisasi manajerial aktivitas harian mereka. Ketika mahasiswa lain umumnya menjawab “gak tau” atau “gak kerasa tuh pengaruhnya” atau “ke laut aja deh” atau “yang suka demo-demo itu kan ya?!” saat ditanya tentang ‘apa itu BEM?’, mereka meringis sepi sambil terus mengerjakan amanah-amanah ke-BEM-an mereka.

Tak heran di balik jibaku mereka itu, aku sering memergoki beberapa orang di antara mereka menyendiri di ruang sekretariat sambil membaca Al-Qur’an atau salat sunnah dhuha, kata mereka itu untuk menguatkan jiwa mereka. Ketika masuk waktu salat fardhu, beberapa dari mereka berhenti dari aktivitas event dan rapat-rapat mereka, lalu mengajak yang masih asyik masyuk dengan dunianya untuk bersama-sama bersimpuh menghadap Tuhan mereka. Ketika beberapa fakultas dan kampus-kampus kecil di Yogyakarta ini heboh dengan konser band dan tarian penggugah syahwat yang menghabiskan berjuta-juta rupiah lalu dengan bantuan industri rokok ternama, mereka bersikeras mengedepankan acara yang katanya ideologis nan berupaya mencerdaskan, mencari sumber-sumber dana yang lebih sehat nan menenangkan kendati pun sedikit. Aku yang mengalami masa-masa di pesantren tentu terenyuh dan nyaman melihat realita itu. Beberapa dari mereka bilang “ini dakwah!”, ah itu dia, sesuatu yang membuat mereka dinilai kaku dan eksklusif oleh sebagian kelompok orang.

Pernah suatu ketika di sekretariat BEM Fakultas aku menerima sebuah celotehan polos dengan ekspresi agak kesal, “kok BEM tuh suasananya Islami banget sih?!”. Aku katakan, “apakah mereka memaksamu meninggalkan agamamu di sini dan beralih ke Islam? Ajak saja teman-temanmu yang satu keyakinan untuk ikut juga meramaikan BEM dan sama-sama berkontribusi lewat BEM”. Kasus lain, yang menyelotehkannya adalah seorang Muslim, “kok kayaknya di BEM tuh Islamnya aliran tertentu ya?!”. Belakangan setelah itu aku mengetahui bahwa ternyata anak itulah yang menjadi penganut aliran tertentu; salat semau gue, pacar gonta-ganti oke, bolos dan titip absen no problem men, dugem adalah tongkrongan beken gue, rokok adalah menu wajib harian gue, dan beragam aktivitas hore-hore lainnya. Membuatku berfikir terheran-heran, “kalo dia Muslim, madzhab Islam mana yang mengajarkan gaya hidup begitu ya?”. Lalu ada juga yang bilang “ah, BEM itu dikuasai rezim gerakan mahasiswa tertentu, sudah gak sehat”, maka aku katakan begini “apakah para pengurus BEM itu memaksamu masuk ke gerakan mahasiswa corak mereka dan memaksamu meninggalkan gerakan mahasiswamu kalau kamu mau aktif di BEM? Kenapa tidak kamu menangkan baik-baik kontestasi politik di PEMILU Fakultas atau PEMIRA? Kalau memang kamu berniat kontribusi di BEM ya bergiatlah kamu di dalamnya dan ajaklah rekan-rekan sepergerakanmu untuk memenuhi BEM dengan kontribusi kalian”.

kayaknya kerja di BEM itu banyak dan melelahkan ya, tapi kok ya ternyata banyak juga mahasiswa yang belum tau itu?”. Rekan-rekan mahasiswa harus tahu bahwa BEM yang mereka miliki ini sebenarnya bisa dikatakan miskin dan selalu dilema di bidang kemediaan. Anggaran dana yang mereka terima tidak sebanding dengan tugas-tugas yang harus dan ingin mereka lakukan sehingga mereka dituntut untuk menambah kerja dan waktu guna pencarian dana tambahan dan sponsorship dari eksternal kampus. Setidaknya selama mengenal dan aktif di dalam BEM, aku belum pernah menemukan BEM yang memiliki sistem media dan opini yang kuat untuk memaksimalkan publikasi kinerja-kinerja mereka dan pencerdasan isu-isu ke publik, bahkan untuk sekedar dalam lingkup sesempit masyarakat kampus dan sesepele pencitraan nama baik lembaganya. Kondisi ini biasanya karena terbentur dengan pendanaan, kuantitas dan kualitas SDM media dan opini yang mereka miliki. Ini dia yang mungkin membuat mahasiswa lain dan masyarakat tidak pernah benar-benar tahu penuh apa yang telah BEM dedikasikan di sepanjang kepengurusannya. Berita-berita baiknya tertutup oleh beberapa oknum kader BEM yang sering bolos dan titip absen dalam tugas juga kelas, berita-berita baiknya tertutup oleh beberapa oknum kader BEM yang tidak berintegritas dalam kesehariannya, berita-berita baiknya tertutup  oleh berita-berita dari media swasta tentang mahasiswa biang kerusuhan di tanah Sulawesi. Atau sengaja ditutup-tutupi? Entahlah.

BEM, di masa-masa regenerasi seperti ini biasanya penuh dengan propaganda politik. BEM hanya milik golongan tertentu-lah, BEM eksklusif-lah, Presiden BEM dan Menteri-Menterinya kepanjangan tangan partai nasional-lah, Ketua BEM anti pluralitas-lah, Partai mahasiswa ini mendapatkan dana dari partai nasional-lah, Partai mahasiswa itu cuma menjual tampang kadernya-lah, penipuan administratif-lah, penggelembungan suara-lah, daaaannnn lain-lain.  Ini suasana yang wajar dalam lapangan politik, namun akan menjadi sangat tidak wajar di wilayah kampus intelektual ini ketika mahasiswa-mahasiswa yang terlibat itu tidak memproses konteks-konteks tersebut secara akademis, tanpa data dan bukti. Korbannya tentu adalah mahasiswa-mahasiswi yang tidak terlalu ngeh dengan politik, dibodoh-bodohi seniornya, dibodoh-bodohi politisi busuk. Alih-alih pencerdasan politik, malah pembodohan publik dan penanaman benih-benih konflik. Jangan-jangan hal inilah yang membuat hilangnya simpati khalayak mahasiswa untuk berpartisipasi dalam PEMILU Fakultas dan PEMIRA. Lihat saja, partisipasi mahasiswa UGM yang memiliki hak pilih dalam PEMIRA ataupun PEMILU Fakultas (program Strata 1 dan Diploma) rasa-rasanya tidak pernah sampai 50%. Fakultasku termasuk yang paling parah partisipasinya, aku menilainya setelah melihat data grafik partisipasi PEMIRA selama 4 tahun terakhir dari 5 rumpun Fakultas yang ada di UGM; rumpun Teknik, rumpun Sosial Humaniora, rumpun Fakultas Kesehatan, rumpun Sains, dan rumpun Agro. Secara jumlah, Fakultas Teknik adalah rumpun yang paling kaya akan jumlah mahasiswa, namun partisipasinya paling minim jika dibandingkan rumpun lainnya.

BEM ada atas perjalanan panjang para pendahulu mahasiswa di negeri ini yang memperjuangkan perbaikan-perbaikan, sejak bernama Dewan Mahasiswa dan terus mengalami transformasi hingga kini bernama BEM. Para pendahulu mahasiswa itu mengajarkan dalam sejarah mereka bahwa perjuangan mereka tidak identik dengan main-main dan hura-hura, tapi identik dengan keseriusan dan pengorbanan hal-hal yang menyenangkan. Para pendahulu mahasiswa itu memberitahukan pada kita dalam sejarah mereka bahwa perjuangan mereka selalu mengiringi setiap jejak peristiwa bangsa. Aku ada, aku berfikir, aku peduli, dan aku memiliki harapan, maka aku mantap untuk menyatakan bahwa aku ada, punya suara, dan punya karya. Dengan menggunakan hak pilihku setidaknya aku ikut memastikan estafeta mereka itu sampai ke tangan-tangan yang tepat.

Dalam PEMILU Fakultas dan PEMIRA nanti, siapapun memang berhak menyatakan memilih atau tidak memilih. Yang pasti, semua yang kita lakukan tidak akan lepas dari pertanggungjawaban, termasuk pertanggungjawaban atas hak keterlibatan kita, atas keberadaan kita bersama ragam potensi yang kita miliki.

Ah, sepertinya aku sudah cukup berpanjang cerita di sini. Inti dari keseluruhan isi catatan ini sebenarnya adalah ajakan. Ajakan untuk mengenal BEM lebih dekat dan berpartisipasi aktif nan sehat dalam perguliran masa aktivisme BEM, agar BEM semakin baik dalam menjalankan peran-peran dan tugas-tugasnya. Siapapun berhak berkompetisi untuk mengisinya, asalkan dengan cara yang layak dilakukan oleh mahasiswa dan tidak mencoreng nilai-nilai kenegaraannya; spiritualitas, moralitas, persatuan, kerakyatan, musyawarah, intelektualitas dan keadilan. Siapapun berhak mengisi tampuk kepemimpinan dan aktivisme lembaga-lembaga mahasiswa, asalkan benar-benar kuat serta siap dalam menjalankan amanah-amanahnya sehingga tujuan dan fungsi lembaga itu tetap terpenuhi. Karena toh kelak ketika telah menjadi pengurusnya, dia tetap dituntut untuk memiliki itikad dan ikhtiar mengakomodir semua elemen mahasiswa di UGM, bukan hanya mengakomodir rekan-rekan sesukanya.

Betapa kelak aku berhak untuk marah, memberi kritik dan masukan, ketika sesuatu yang aku terlibat di dalamnya itu tidak menjalankan amanah sebagaimana mestinya. Betapa aku pun kelak berhak untuk bangga dan bahagia ketika sesuatu yang aku terlibat di dalamnya itu ternyata menuai keberhasilan, terlebih bisa mempertahankan kebaikan-kebaikan yang mereka buat itu sehingga masa depan bangsa ini dipenuhi orang-orang berintegritas, yang telah hilang ambisi nafsunya dan teruji mendedikasikan hidupnya untuk kemaslahatan orang banyak.

12 Desember 2012, dari sebuah gumam di kampung visi


3 komentar: