Bersama mereka, aku selalu
kewalahan untuk menahan senyum dan tawa. Seperti di pagi hari ini di saat kami
berkumpul untuk sarapan bersama. Mereka memang berbakat menjadi bunga-bunga di
taman hati. Aku sudah lupa kapan terakhir kalinya kami berantem, ah, rasanya itu ada di masa-masa yang sangat jauh
sehingga tidak menyisakan apapun di saat ini selain kebersamaan yang ceria.
Aku
kira semua yang memiliki saudara atau saudari kandung pernah mengalami
masa-masa tidak akur; berebut perhatian, berebut saluran televisi, berebut uang
jajan, konflik karakter, saling menguatkan ego, dan sebagainya. Semua pasti
pernah mengalami masa-masa tidak akur, lalu seringkali -dalam observasi
pribadiku- kondisi itu berakhir di saat masing-masing pribadi menjadi pribadi
yang mandiri, lepas dari orang tua dan saling hidup berjauhan. Entahkah itu
karena perkembangan kedewasaan jiwanya atau sekedar karena efek minimnya komunikasi
sehingga minim terjadi friksi dan konflik.
Aku anak ketiga dari 5
bersaudara. Meskipun demikian aku sering menambahkan keterangan di setiap
perkenalan pribadi bahwa aku juga anak
pertama dari periode kedua, itu karena jarak lahir anak pertama dan kedua hanya
terpisah rentang waktu sekitar 1 tahun+7 bulan, sedangkan jarak lahir antara
aku dan kakakku –anak yang kedua- cukup jauh, sekitar 7 tahun+4 bulan. Dan
seterusnya dari kelahiranku hingga ke kelahiran adik bungsuku masing-masing
hanya terpisah sekitar 1 tahun+5 bulan dan 2 tahun+2 bulan.
Aku dan kedua adikku ditakdirkan
selalu berada di lingkungan yang sama sejak jenjang SLTA. Kami selalu merantau
ke tempat yang sama dalam kondisi kesibukan masing-masing. Meskipun kami
tinggal di pesantren yang sama, aktivitas kami terbatas lingkungan gender yang memang sengaja diatur di
dalam pesantren. Meskipun kami tinggal di Yogyakarta, kami terbatas dimensi
ruang kampus dan tempat tinggal. Namun kebersamaan kami yang unik inilah yang
selalu membuat harmoni, ada rasa rindu yang tanggung dan syahdu dalam
perantauan yang sama. Aku sebagai sosok yang paling tua dari mereka benar-benar
harus memainkan peran dengan baik, menempati peran mewakili orang tua di tanah
perantauan; menjadi solidarity maker,
sebisa mungkin mengkhususkan waktu dengan mereka minimal setiap dua pekan,
membagikan jatah uang bulanan dan membuat momen pertemuan sederhana sambil
menraktir mereka makan bersama atau jalan-jalan.
Kebersamaan kami yang akur dan
ceria inilah yang biasanya paling dominan ada di ruang keluarga kami ketika
pulang kampung, otomatis, karena kedua kakak kami masing-masing sudah
berkeluarga. Orang tua kami pun sekarang akhirnya tidak pernah terlihat saling
ribut lagi karena perbedaan karakter mereka yang cukup tajam, yang terjadi
sekarang-sekarang ini malah meskipun mereka saling mem-bully setelah itu mereka tertawa bersama-sama, lalu diikuti oleh
tawa kami. Suasana hangat inilah yang selalu membuatku rindu untuk pulang
kampung dan berkumpul bersama lagi. Semoga bisa berkumpul kembali dalam
kehangatan syurga-Nya kelak, aamiin.
7 Desember 2012
Memori Warung Biru
bersama kakek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar