Sabtu, 08 Desember 2012

Tentang Aku dan Adik-Adikku


Bersama mereka, aku selalu kewalahan untuk menahan senyum dan tawa. Seperti di pagi hari ini di saat kami berkumpul untuk sarapan bersama. Mereka memang berbakat menjadi bunga-bunga di taman hati. Aku sudah lupa kapan terakhir kalinya kami berantem, ah, rasanya itu ada di masa-masa yang sangat jauh sehingga tidak menyisakan apapun di saat ini selain kebersamaan yang ceria.
Aku kira semua yang memiliki saudara atau saudari kandung pernah mengalami masa-masa tidak akur; berebut perhatian, berebut saluran televisi, berebut uang jajan, konflik karakter, saling menguatkan ego, dan sebagainya. Semua pasti pernah mengalami masa-masa tidak akur, lalu seringkali -dalam observasi pribadiku- kondisi itu berakhir di saat masing-masing pribadi menjadi pribadi yang mandiri, lepas dari orang tua dan saling hidup berjauhan. Entahkah itu karena perkembangan kedewasaan jiwanya atau sekedar karena efek minimnya komunikasi sehingga minim terjadi friksi dan konflik.

Aku anak ketiga dari 5 bersaudara. Meskipun demikian aku sering menambahkan keterangan di setiap perkenalan pribadi bahwa aku  juga anak pertama dari periode kedua, itu karena jarak lahir anak pertama dan kedua hanya terpisah rentang waktu sekitar 1 tahun+7 bulan, sedangkan jarak lahir antara aku dan kakakku –anak yang kedua- cukup jauh, sekitar 7 tahun+4 bulan. Dan seterusnya dari kelahiranku hingga ke kelahiran adik bungsuku masing-masing hanya terpisah sekitar 1 tahun+5 bulan dan 2 tahun+2 bulan.

Aku dan kedua adikku ditakdirkan selalu berada di lingkungan yang sama sejak jenjang SLTA. Kami selalu merantau ke tempat yang sama dalam kondisi kesibukan masing-masing. Meskipun kami tinggal di pesantren yang sama, aktivitas kami terbatas lingkungan gender yang memang sengaja diatur di dalam pesantren. Meskipun kami tinggal di Yogyakarta, kami terbatas dimensi ruang kampus dan tempat tinggal. Namun kebersamaan kami yang unik inilah yang selalu membuat harmoni, ada rasa rindu yang tanggung dan syahdu dalam perantauan yang sama. Aku sebagai sosok yang paling tua dari mereka benar-benar harus memainkan peran dengan baik, menempati peran mewakili orang tua di tanah perantauan; menjadi solidarity maker, sebisa mungkin mengkhususkan waktu dengan mereka minimal setiap dua pekan, membagikan jatah uang bulanan dan membuat momen pertemuan sederhana sambil menraktir mereka makan bersama atau jalan-jalan.

Kebersamaan kami yang akur dan ceria inilah yang biasanya paling dominan ada di ruang keluarga kami ketika pulang kampung, otomatis, karena kedua kakak kami masing-masing sudah berkeluarga. Orang tua kami pun sekarang akhirnya tidak pernah terlihat saling ribut lagi karena perbedaan karakter mereka yang cukup tajam, yang terjadi sekarang-sekarang ini malah meskipun mereka saling mem-bully setelah itu mereka tertawa bersama-sama, lalu diikuti oleh tawa kami. Suasana hangat inilah yang selalu membuatku rindu untuk pulang kampung dan berkumpul bersama lagi. Semoga bisa berkumpul kembali dalam kehangatan syurga-Nya kelak, aamiin.

7 Desember 2012
Memori Warung Biru

bersama kakek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar