Rabu, 26 Desember 2012

Belajar Menjadi Negarawan dari Supir Taksi


Sepi tiba-tiba menjadi ramai, beku tiba-tiba menjadi cair. Memang  benar prinsip komunikasi efektif yang menyebutkan bahwa untuk terikat dan melibatkan lawan bicara dalam topik pembicaraan kita adalah dengan membahas hal-hal yang membuat lawan bicara kita tertarik, sore tadi aku menambah pembuktiannya. Terjadi di dalam taksi yang berangkat dari Bandara Adisutjipto Yogyakarta menuju Wisma MM UGM. Sore hari ini aku memang mendapat tugas mulia untuk menjemput dan mendampingi tamu yang datang dari Jakarta, manajemen pusat Beastudi Etos Dompet Dhuafa. Mereka datang untuk meramaikan akhir pekanku ini dengan agenda monitoring-evaluation (monev) dari manajemen pusat ke manajemen daerah di Yogyakarta.


Awalnya obrolan di dalam taksi itu hanya didominasi kami, 3 orang penumpang taksi, sang supir sangat Nampak menjaga diri untuk tidak terlibat. Bahkan ketika aku membahas cuaca Yogyakarta hari ini pun beliau hanya menjawab sekenanya dengan anggukan. Mulailah bahasan masuk ke pertanyaan seputar agenda yang update di kampus, PEMIRA. Hari ini hari terakhir PEMIRA di kampusku, UGM, dan otomatis menjadi hari pertama penghitungan hasilnya. Entah bagaimana sinapsis yang terjadi sang bapak supir tiba-tiba lantang bersuara, “buat apa Politik?! Bla .. bla .. bla..”, ungkapan sinis kemudian mengalir dari lisan beliau. Sontak tamuku yang background pendidikannya di FISIPOL UGM nyengir-nyengir sepi, tergelitik. Bahasan beliau sebenarnya tidak terlalu nyambung dengan obrolan kami, antara kampus dan nasional. Ya, beliau membahas perpolitikan nasional yang menurutnya carut-marut. Jadilah mulai waktu itu kami sebagai penumpang menjadi pendengar setia curahan hati pak supir taksi.

Beberapa hal yang menjadi pelajaran bagiku dari curahan hati pak supir;
  • Konsistensi (istiqaamah) dari seorang pemimpin menjadi nilai penting untuk mewarnai simpati orang-orang yang dipimpinnya. Ini aku ambil dari kasus seorang tokoh politik yang menurut beliau dahulunya nampak salih, lurus, aktivis mahasiswa Islam, namun kemudian pada akhirnya terjerat kasus korupsi sehingga dikeluarkan dari organisasi politiknya. Bagi beliau ini aib yang besar dan sangat mengecewakan. Ketika dibandingkan dengan tokoh politik lainnya yang juga sama-sama dikeluarkan dari jajaran organisasi politiknya, dan memang dikenal berreputasi tidak baik, beliau tidak menyayangkannya sama sekali, “ya dia orangnya memang udah gitu dari dulu mas, udah pantes dikeluarin dari dulu juga, lain sama yang tadi yang dulunya alim”, ungkapnya.

  • Pemimpin harus mengenal dengan baik semua elemen yang dipimpinnya. Beliau bercerita kasus Mendagri yang menjawab “maaf, saya tidak mengetahui” ketika ditanya tentang sejarah Yogyakarta. “saya muarrah besar mas, orang kayak gitu kok ya jadi Mendagri, hancur negeri kita mas!”. Mengenal adalah sebuah penghargaan dan modal penerimaan bagi yang dipimpin, jika pemimpin tidak mengenal yang dipimpinnya, maka bersiaplah dia dinilai gagal dan tidak layak memimpin.

  • Pemimpin harus bersiap dengan kebijakan yang tidak populis dan mengundang konflik. Kasus KIK di UGM ternyata memang tidak hanya menjadi topik hangat di intra kampus saja, paguyuban taksi di Yogyakarta ikut meramaikannya. Harga Rp. 2.000,- ternyata membuat cinta mereka kepada kampus kerakyatan UGM semakin meluntur. Aku faham kontroversi yang terjadi sepanjang kasus KIK UGM, secara ontologis semua menerima dan mengamini karena itu bagian dari cita-cita luhur semua pihak yang mencintai UGM dan bangsanya, namun pada tataran aksiologis akhirnya friksi mulai hadir dan konflik pun terjadi.

Ok, terima kasih pak supir taksi atas jasa antar dan jasa pelajarannya di sepanjang perjalanan. Semoga kita semua bisa istiqaamah di atas jalan kebaikan, menjadi pemimpin yang adil dalam karakter dan aktualisasi, menjadi pemimpin bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita, menjadi negarawan yang sejati.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.
(Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).

20 Desember 2012

2 komentar:

  1. kalo saat ini di tv sedang marak berita ttg penjahat yg menyamar jd sopir taksi, dulu aku malah dinasehati ttg agama oleh supir taksi, mungkin itu ustad yg menyamar jd supir taksi kali yaa.. hehe..

    bahkan dari supir taksi pun kita bisa banyak belajar :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahh,, jangan-jangan supir taksiku yang ini pejabat daerah yang nyamar jadi supir taksi :D

      yep, belajar dari apapun, dari manapun..!!

      Hapus