(Semacam) Laporan Pertanggungjawaban
Delegasi BEM KM UGM 2011 untuk Walimahan Lakso Anindito-Rizca Mery Adiaty
Kaus oblong dan celana olahraga yang semuanya berwarna merah untuk perjalanan menuju ibukota, Jakarta. Ya, aku suka warna merah, dia seperti memberiku energi tambahan untuk berani dan menantang hiruk-pikuk suasana perjalanan yang penuh ketidakpastian. Dan perjalananku kali ini adalah perjalanan dengan 'misi suci' sebagai seorang delegasi.
Sejak mengenal perjuangan, aku jatuh hati pada tantangan dan menduakan kenyamanan. Beberapa kali tepat konteks dan beberapa kali hanya menjadi apologi :D. Kali yang ini mungkin apologi, di saat aku harus berhadapan dengan ancaman keterlambatan sehingga meninggalkan banyak hal yang menggantung di Yogyakarta lalu menerobos celah demi celah jalanan sempit gang Kutu Dukuh dan jalanan padat Jalan Magelang, menuju Terminal Jombor. Padahal bisa saja tidak perlu menempuh cara demikian jika saja kemarin tidak berlebih waktu membaringkan sadar sampai setengah hari sehingga meninggalkan banyak agenda.
Selamat dari probabilitas musibah jalanan dan keterlambatan, aku masih memiliki sisa waktu sekitar 15 menit, alhamdulillaah. Bus Handoyo yang hendak kutumpangi untuk misi suci ini kabarnya akan berangkat pukul 13.30. Namun di negeri ini seringkali pengorbanan dan kedisiplinan terasingkan di pojokan imaji, sehingga aku harus menambah waktu tunggu 1 jam sambil mengisi baterai HP, bermain dengan obrolan imajinatif 2 bocah kecil Terminal Jombor, dan bolak-balik menabung wudhu di toilet. Tidak jauh dari pukul 14.30, di saat aku sedang mengambil wudhu di toilet Terminal, bus yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang lalu menjemputku ke toilet lantas petugasnya membentakku karena ketidaksiapan di tempat. Catatan ironi tambahan di negeri ini.
Perjalanan Yogyakarta-Jakarta
dimulai dengan gaya bus merayap, menjemput penumpang lain di beberapa tempat
agen resmi sepanjang jalan. Aku bertahan sadar hingga waktu maghrib menjelang
untuk mendirikan shalat ashar, lalu beberapa menit menyelesaikan hal-hal yang
menggantung yang akan ditinggalkan di Yogyakarta melalui beberapa telepon dan
kiriman SMS, lalu melelapkan diri. Melelapkan diri adalah cara terbaik untuk
terhindar dari siklus biologis yang menuntut lapar dan bolak-balik toilet juga
dari siklus psikologis yang menuntut jari-jemari mengirimkan SMS –didukung oleh
habisnya energi baterai HP, tepat di saat kumandang azan maghrib menggema dari berbagai arah--. Semalaman perjalanan
itu aku hanya sadar beberapa jam untuk istirahat makan, shalat, mengisi
baterai HP, dan mengirim SMS balasan serta laporan, selebihnya adalah memejamkan
sadar. Yang aku ingat di saat Subuh, bus yang kutumpangi sedang berjuang melaju
di tengah-tengah kemacetan jalanan Pantura.
Sekitar pukul 08.30 --setelah 18 jam perjalanan bus-- aku menepi di
Terminal Lebak Bulus, tidak sesuai rencana yang memperkirakan bus akan
mengantarkanku hingga Pancoran. HP-ku kehabisan energi baterai, tidak ada yang bisa
aku kontak untuk informasi dan bantuan lainnya, maka warung pinggiran Terminal menjadi pilihanku untuk menunggu
sambil mengisi baterai. Tentang HP-ku ini, beberapa kali aku meyakinkan
orang-orang bahwa HP-ku ini meskipun notabene orang menilainya sebagai stupid phone namun kelakuannya seperti smart phone, sedikit-sedikit menagih
listrik :D. Charging baterai HP
selama setengah jam aku rasa cukup untuk manifestasi komunikasi hingga
menemukan sumber listrik berikutnya, kos Syaugi Muhammad di Pancoran, partner untuk
melanjutkan perjalanan dalam misi suci yang aku tempuh ini.
Perjalanan Terminal Lebak
Bulus-Pancoran seharga Rp. 3.500,- itu ternyata bukan perjalanan yang mudah dan
cepat. Ada benarnya juga pepatah yang mengatakan “ada harga, ada kualitas!”.
Dalam perjalanan via Trans Jakarta itu aku harus berganti bus sampai 3 kali;
pertama karena kerusakan mesin sehingga busnya mogok, kedua karena ban busnya
meledak –tepat di samping kiri tempatku berdiri--, dan yang ketiga karena
transit jalur bus. Singkat cerita akhirnya aku sampai di kosnya Syaugi pada
pukul 10.00.
Istirahat sejenak dengan
mengerjakan dan mengirimkan tugas-tugas kantor yang kubawa, sedikit
bersih-bersih, dan ganti baju. Setelah memastikan ada satu barang berhargaku (mushaf Al-Qur'an) yang hilang dalam perjalanan --entah, sepertinya diambil copet karena tali gantungannya yang terjuntai keluar dari saku atas bagian dalam jaketku memang sekilas nampak seperti aksesoris HP atau dompet--, lalu aku bersama Syaugi berangkat menuju Pasar Rebo
sambil diiringi gerimis untuk berburu bus menuju Serang. Tepat pukul 12.00
mendapatkan bus, tidak peduli ideal-gak idealnya, waktu itu yang terpikir
hanya; “the first who come, the first who get us”. Perkiraan lama
perjalanan adalah 2 jam, sebuah perkiraan waktu tanpa perhitungan kemacetan
yang benar-benar terjadi.
Bus yang kami tumpangi ini
ternyata tidak bisa mengantarkan kami ke tujuan terdekat, Taman Kopassus di
daerah pintu tol Serang Barat, dia hanya mengantarkan sampai pintu tol Serang Timur.
Waktu menunjukkan pukul 15.30, mencari mobil tumpangan lain hanya akan membuang
waktu lebih banyak lagi bagi kami sebagai dua orang asing, hingga ojek adalah
pilihan pamungkas untuk melanjutkan perjalanan. Dengan ojeklah kami melanjutkan
perjalanan misi suci, menembus padatnya lalu lintas Serang menuju Taman Kopassus.
--FYI, ongkos ojek Tol Serang
Timur-Tol Serang Barat lebih mahal dari ongkos Pasar Rebo-Serang--.
Sesampainya kami di gerbang taman
Kopassus, mendadak ojek yang kami tumpangi mogok seraya menampakkan wajah ragu
nan khawatir. Setelah lobi dan dibantu arahan orang-orang sekitar gerbang Taman
Kopassus akhirnya ojek kembali melaju masuk, mengantarkan kami ke depan Gedung
Serbaguna --belakangan kami ketahui pada hari biasa memang Taman Kopassus gak
bisa dimasuki sembarang orang--. Di sana bukan among tamu nan cantik dan ganteng
yang menyambut kami, tetapi kera-kera taman Kopassus. Mereka berkeliaran
menatapi kami sembari mengais dan mengunyah sisa-sisa makanan dari sebuah acara
besar yang baru saja selesai di sana. Beruntung para kera itu tidak sampai
menghalangi apalagi menyerang kami yang –nampaknya— sama-sama berwajah kusut
digulung angin.
Alhamdulillaah, keramaian manusia di sana memang telah usai tapi
tokoh-tokoh utamanya masih menetap di tempat untuk berbenah. Tak lama setelah
kami memasuki gedung kami bisa menemui kedua mempelai, menyerahkan kado dan
titipan salam, menyantap hidangan walimahan di ruang khusus keluarga, dan foto
bersama kedua mempelai. Misi suci selesai. Dalam perbincangan di sana diketahui
bahwa telah hadir di sana beberapa tokoh mahasiswa era pasca reformasi,
beberapa tokoh Nasional, termasuk Prof. Denny Indrayana yang meskipun dalam
kondisi belum pulih dari sakit tipusnya.
Wajah prihatin kami memang tidak
bisa menipu dengan alasan kemapanan perjalanan, hal ini mengundang simpati
keluarga mempelai yang berhasil mendesak kami untuk ikut mengantarkan
kepulangan kami. Jadilah mobil Kijang Innova mereka harus diisi 10 orang dengan
ragam ukuran plus beberapa barang perlengkapan walimah --meskipun tidak lama--.
Kami sempat diajak ke rumah mempelai wanita di Serang untuk istirahat sejenak
lalu diantarkan sampai gerbang tol Serang Timur untuk melanjutkan perjalanan
dengan bus menuju Kampung Rambutan.
Terima kasih banyak rekan-rekan
di Jogja; Luthfi, Nandika, Indah, Isdhama, Dhanur, Bhima, Yusro, Langkah, Zaki atas
sokongan moril-materil dan kepercayaan kalian mengutusku untuk melaksanakan misi suci ini.
Terima kasih banyak Syaugi Muhammad yang sudah rela ikut bersusah-payah dalam
perjalanan, sampai menanggung sebagian besar beban ongkosku dan menyediakan
ruang kos serbalengkapnya untuk transit di Jakarta (aku benar-benar tak berdaya
di hadapan orang bergaji :p). Terima kasih banyak Hidayah Audah yang sudah
turut berniat menjadi partner perjalanan di Serang meskipun akhirnya batal,
niat baik tidak akan pernah sia-sia (titip salam buat keluarga yang sedang
sibuk menyiapkan hajatan besar :)). Terima kasih banyak untuk Diki (teman kos
Syaugi), tokoh figuran yang turut membantu menyelesaikan tugas-tugas bawaan
dari Jogja. Terima kasih banyak kepada Bang Lakso dan keluarga, atas kehangatan,
perhatian, dan keterbukaan kalian (termasuk oleh-olehnya) dalam menyambut kami,
benar-benar keluarga yang unik. J
*kita do'ain bareng-bareng untuk 'Dimas' Pangky yang sedang berkompetisi, juga Putri dan Nunik yang lagi sibuk
gawe (dapet bocoran, katanya tengah tahun ya Nik :D)
*Muhammad Iqbal M. R.*
Pancoran, 1 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar