Nilai kehidupan yang kita kenal
umumnya membuat kita akan berfikir bahwa makanan super enak sekalipun akan
menjatuhkan selera dan bahkan mengundang amarah ketika disuguhkan atau
disodorkan dengan menggunakan kaki. Sebagaimana hal lainnya, kita akan berpikir
dalam dan panjang bahkan hingga menahan diri untuk menyatakan “makanannya gak enak!!” ketika orang yang
menyuguhkannya adalah sosok yang baik hati, rupa, kata, dan tata.
Tentang sebuah sajian. Dalam posisi
penyaji, jika kita ingin mendapatkan timbal balik yang baik maka cara penyajian
adalah aspeknya yang vital.
Dalam posisi orang yang
disajikan, makanan yang super enak akan tetap terasa super enak hingga
berkali-kali lipat lebih dari sekedar super enak ketika kita bisa mengolah
perspektif dan metafora, bagaimana pun kasarnya cara penyajiannya dalam
pengetahuan umum kita. Dari sini kita bisa melanjutkan penjelajahan indra,
menyelisik sehingga mungkin sekali akan ditemukan fakta bahwa sang penyaji memang
memiliki cacat tangan, atau cacat mental, atau mengalami deviasi pemahaman atas
nilai umum yang kita kenal, atau ingin mengenalkan nilai-nilai baru --yang
menyebabkan cara penyajiannya demikian terjadi.
Tentang menerima sebuah sajian. Dalam
posisi orang yang disajikan, jika tetap ingin mendapatkan manfaat maka cara
pandang dan metafor adalah ibarat penenang hati dan penyedap rasa.
Ada satu sikap kunci yang aku
temukan dari pengalaman kasus-kasus semacam di atas, bahwa emosi sangat berperan
untuk mengurung atau membuka jawaban yang tersembunyi di balik setiap peristiwa
--tentunya semua terjadi atas izin Allah ta’ala--.
Emosi menguji penguasaan kita atas potensi pikir dan rasa. Sebaik apapun
kata-kata nasihat, terlebih ayat-ayat kauniyat
dan qauliyat, indra dan hati yang
dikuasai oleh amarah dan benci akan menyendat jalur-jalur kebaikan pada diri
kita, ia takkan mampu menyerapnya hingga menjadi saripati untuk membentuk
karakter positif. Di lain cerita, seburuk apapun rupa dan rasa, hati yang
terlanjur dikuasai cinta akan leluasa menerima.
Menjatuhkan diri pada kobaran
amarah dan benci hanya akan menghanguskan sajian lezat yang harusnya bisa kita
santap, membakar diri kita sendiri sehingga tak mampu merasakan nikmatnya
makanan yang sudah tersaji. Jikapun berhasil masuk dalam pencernaan kita, tiada
faedah bahkan mungkin saja menjadi bibit penyakit yang kelak berakumulasi menjadi
sel-sel kanker yang memangsa potensi-potensi baik diri kita.
Husnul-khuluq (akhlak yang mulia) pada diri kita ternyata takkan
lebih lengkap jika tanpa Husnuzh-zhann
(prasangka baik), seperti lengkapnya ‘istimewa setiap waktu’ jika syukur
beriringan dengan sabar. Segala puji bagi Allah dan Maha Suci Allah yang telah
menyertakan maksud di setiap penciptaan dan peristiwa. Tiada yang tersia
dicipta.
Yogyakarta, 16 Juni
2013
Inspirasi:
- Peristiwa kehidupan sehari-hari
- Al-Qur’aan Al-Kariim, Aali ‘Imraan : 190-191
- Ahaadiitsu Rasuulillaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
- Buku ‘Melejitkan Potensi dengan Kekuatan Iman’, karya Dr. Taufiq Al-Wa’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar