Suasana kampus nampaknya sudah
mulai kembali hiruk-pikuk dengan gambar-gambar calon ketua organisasi
mahasiswa, khususnya organisasi mahasiswa bernama Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM). Hiruk-pikuk momentum regenerasi tahunan ini dikemas dalam konsep
demokrasi yang berwujud pemilihan langsung (PEMILU) dan diikuti oleh seluruh
entitas mahasiswa program strata 1 (S-1) dan Diploma (Sekolah Vokasi, SV) UGM.
untuk konteks fakultasku dinamai Pemilihan Umum Teknik (PEMILU Teknik) dan
untuk konteks skala Universitas dinamai Pemilihan Raya Mahasiswa (PEMIRA).
Sebagai mahasiswa yang sampai sekarang masih menekuni Tugas Akhir kuliah, insyaa-Allaah –jika Allah ta’ala menghendaki ada umur yang sampai-
ini akan menjadi PEMILU Teknik dan PEMIRA ke-6 yang aku ikuti dan sekaligus
terakhir. Fyuhh, rasanya aku berada
dalam perjalanan yang cukup panjang di kampus ini ketika melihat angkanya.
Aku menekuni aktivitas ke-BEM-an
sejak semester pertama menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik (FT) UGM. Kultur
aktivitas semasa jenjang SLTA dan karakterku yang memang gila kerja juga
idealis membuatku langsung jatuh cinta pada BEM sewaktu pertama kali kami
bertemu di masa orientasi dan inisiasi kampus, SPUTNIK (Sarana Pengenalan
Kampus Teknik) dan P4T (Pekan Pengenalan Pembelajaran Perguruan Tinggi). Waktu
itu yang menjadi ketua BEM di Fakultasku (KMFT) adalah Widya Adi Nugroho,
mahasiswa Teknik Elektro angkatan 2005, dan Presiden Mahasiswa di BEM Keluarga
Mahasiswa (KM) UGM adalah Agung Budiono, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan
Bisnis (FEB) angkatan 2003. Aku menjalani aktivitas di BEM mulai dari sebagai
staf sebuah Departemen di BEM KMFT periode 2007, hingga akhirnya pada tahun
2011 dipercayakan oleh Presiden Mahasiswa BEM KM UGM periode 2011 untuk beramanah
mendampinginya mengurus BEM KM dan mengawal kebijakan-kebijakan Internal
kampus.
Di BEM aku mulai belajar mengenal
realitas masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta dan kampus UGM. Dilibatkan
masuk ke panti asuhan untuk mengajar secara sukarela, masuk ke desa-desa di
pedalaman Yogyakarta untuk menerapkan ilmu keteknikan dan beragam ilmu lainnya,
masuk ke kelas-kelas kuliah untuk menggalang dana sosial, masuk ke dalam
jiwa-jiwa rekan sekampus untuk mengajak mereka terlibat aktif membina
masyarakat, masuk ke dalam sejarah dan catatan keluarga dari ratusan mahasiswa
agar distribusi beasiswa Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dan Bantuan
Pendidikan (BP) berlangsung tepat sasaran, masuk ke dalam kantor dekan, rektor,
dan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk berdiskusi dan mencari
jalan keluar dari problematika mahasiswa dan kebijakan-kebijakan yang ada di
dalam kampus juga Indonesia, masuk ke dalam barisan orang yang berdemonstrasi
damai untuk ikut protes dan mengajukan perbaikan kebijakan -dalam kampus, dalam
negeri, maupun luar negeri- di jalanan sampai halaman Istana Negara, masuk ke
dalam ruang-ruang seminar rekonsiliasi kasus, masuk ke dalam majelis-majelis
kajian dan pendalaman isu, masuk ke dalam kelas-kelas pembinaan Sumber Daya
Manusia (SDM), dan lain sebagainya.
BEM dikatakan sebagai miniatur Pemerintahan
Negara, yang mengelolanya adalah mahasiswa. BEM tidak berada dalam garis
hierarkis di bawah pengurus Universitas. Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia (Kepmendikbud RI) Nomos 155 tahun 1998, BAB III
tentang Kedudukan, Fungsi, dan Tanggung Jawab, pasal 4, dinyatakan bahwa ‘Kedudukan organisasi kemahasiswaan intra
perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan
tinggi yang bersangkutan’. Kemudian dari pasal-pasal lainnya dalam
Kepmendikbud RI itu bisa aku simpulkan bahwa sesungguhnya semua aktivitas yang
anak-anak BEM lakukan adalah belajar, belajar peduli dan belajar mengurusi
permasalahan, tidak muluk-muluk sampai menyelesaikan permasalahan dengan
tuntas. Kalaupun tuntas, maka itu adalah buah dari kolaborasi antara waktu dan
perjuangan yang terus diwariskan. Mereka juga belajar bertanggungjawab kepada
masyarakat atas bantuan yang mereka terima dari masyarakat dalam bentuk subsidi
pendidikan sehingga mereka bisa berkuliah. Di antara mereka kemudian ada yang
bercita-cita kelak menjadi Presiden atau Menteri agar kepuasan mereka dalam kontribusi
membantu masyarakat bisa terasa lebih besar, namun ada juga yang kapok lalu mundur dari cita-cita itu
setelah merasakan beratnya beban yang harus mereka pikul meskipun dalam skala
sekecil kampus.
Keberadaan KM UGM -termasuk di
dalamnya adalah BEM KM, Senat KM, Lembaga Eksekutif dan Legislatif Mahasiswa
Fakultas, dan Himpunan-Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program Studi-, memiliki
tujuan dan fungsi yang mulia. dalam Anggaran Dasarnya (AD) tertulis jelas bahwa
tujuan KM UGM adalah ‘mengusahakan
terwujudnya mahasiswa yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bewawasan luas,
cendikia, memiliki integritas, berkepribadian, bertanggungjawab, serta
berkepedulian sosial’. Fungsinya juga sangat jelas tertulis di sana;
- Menggali aspirasi secara umum;
- Menindaklanjuti aspirasi yang timbul dari mahasiswa UGM dalam bentuk kebijakan dan/atau program;
- Menanggapi dinamika eksternal dan internal kampus UGM untuk diabdikan kepada kepentingan mahasiswa khususnya serta bangsa dan negara;
- Membawa aspirasi mahasiswa UGM dan berinteraksi dengan berbagai elemen perubahan segala lini atau tingkatan;
- Melakukan negosiasi dengan pengurus Universitas berkenaan dengan kebijakan keuangan dan distribusi dana kegiatan KM UGM;
- Melakukan negosiasi dengan pengurus universitas yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa dengan tidak melanggar prinsip-prinsip, sifat, tujuan, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan;
- Membela kepentingan mahasiswa, masyarakat luas dalam bentuk dan skala tertentu sesuai dengan sifat, semangat, prinsip dan tujuan KM UGM.
Dari se-abreg urusan yang aku tulis di paragraf atas ini, maka aku
seringkali menemukan sosok-sosok yang habis waktu dan uangnya untuk mengurus
lembaga dan orang lain. Ketika mahasiswa lain asyik mengerjakan tugas-tugas
kuliahnya dalam hingar-bingar canda bersama pacar atau rekan-rekan sekelasnya,
mereka harus rela membawa tugas-tugas kuliah itu ke sekretariat agar tidak
tertinggal diskusi perkembangan kegiatan atau kasus. Ketika mahasiswa lain
umumnya sudah tertidur lelap atau nongkrong
asyik di warung angkringan, burjo, atau tempat-tempat dugem, mereka harus rela rapat
koordinasi dan konsolidasi di sebuah tempat terbatas untuk sebuah strategi
pergerakan sosial-politik karena pagi-sore mereka sudah habis untuk agenda
akademik, lembaga, dan pribadi. Ketika mahasiswa lain umumnya berakhir pekan
bersama keluarga atau teman, mereka seringkali berakhir pekan dengan
pelatihan-pelatihan dan event lalu
menegaskan untuk menghibur diri bahwa para panitia adalah keluarga mereka dan
aktivitas yang mereka lakukan kelak mengantarkan pada kejayaan bangsa. Ketika
mahasiswa lain umumnya berpuas dalam membelanjakan uang saku, mereka harus
berfikir berkali-kali ketika akan menggunakannya untuk pribadi sepenuhnya
karena suatu saat mungkin harus mengeluarkannya untuk kegiatan yang sedang
mereka urus. Ketika mahasiswa umumnya bisa berpuas-puas mengambil kredit kuliah
di setiap semesternya, mereka harus rela mengambil sekedar ¾ sampai ¼-nya saja
dari jatah maksimal kredit yang bisa mereka ambil demi rasionalisasi manajerial
aktivitas harian mereka. Ketika mahasiswa lain umumnya menjawab “gak tau” atau “gak kerasa tuh pengaruhnya” atau “ke laut aja deh” atau “yang
suka demo-demo itu kan ya?!” saat ditanya tentang ‘apa itu BEM?’, mereka meringis sepi sambil terus mengerjakan
amanah-amanah ke-BEM-an mereka.
Tak heran di balik jibaku mereka
itu, aku sering memergoki beberapa orang di antara mereka menyendiri di ruang
sekretariat sambil membaca Al-Qur’an atau salat sunnah dhuha, kata mereka itu untuk menguatkan jiwa mereka. Ketika masuk
waktu salat fardhu, beberapa dari mereka berhenti dari aktivitas event dan rapat-rapat mereka, lalu mengajak
yang masih asyik masyuk dengan dunianya untuk bersama-sama bersimpuh menghadap Tuhan
mereka. Ketika beberapa fakultas dan kampus-kampus kecil di Yogyakarta ini heboh dengan konser band dan tarian
penggugah syahwat yang menghabiskan berjuta-juta rupiah lalu dengan bantuan
industri rokok ternama, mereka bersikeras mengedepankan acara yang katanya
ideologis nan berupaya mencerdaskan, mencari sumber-sumber dana yang lebih
sehat nan menenangkan kendati pun sedikit. Aku yang mengalami masa-masa di
pesantren tentu terenyuh dan nyaman melihat realita itu. Beberapa dari mereka
bilang “ini dakwah!”, ah itu dia, sesuatu
yang membuat mereka dinilai kaku dan eksklusif oleh sebagian kelompok orang.
Pernah suatu ketika di
sekretariat BEM Fakultas aku menerima sebuah celotehan polos dengan ekspresi
agak kesal, “kok BEM tuh suasananya
Islami banget sih?!”. Aku katakan, “apakah
mereka memaksamu meninggalkan agamamu di sini dan beralih ke Islam? Ajak saja
teman-temanmu yang satu keyakinan untuk ikut juga meramaikan BEM dan sama-sama berkontribusi
lewat BEM”. Kasus lain, yang menyelotehkannya adalah seorang Muslim, “kok kayaknya di BEM tuh Islamnya aliran
tertentu ya?!”. Belakangan setelah itu aku mengetahui bahwa ternyata anak
itulah yang menjadi penganut aliran tertentu; salat semau gue, pacar gonta-ganti
oke, bolos dan titip absen no problem men,
dugem adalah tongkrongan beken gue, rokok adalah menu wajib harian gue, dan beragam aktivitas hore-hore
lainnya. Membuatku berfikir terheran-heran, “kalo dia Muslim, madzhab Islam mana yang mengajarkan gaya hidup begitu
ya?”. Lalu ada juga yang bilang “ah,
BEM itu dikuasai rezim gerakan mahasiswa tertentu, sudah gak sehat”, maka
aku katakan begini “apakah para pengurus
BEM itu memaksamu masuk ke gerakan mahasiswa corak mereka dan memaksamu
meninggalkan gerakan mahasiswamu kalau kamu mau aktif di BEM? Kenapa tidak kamu
menangkan baik-baik kontestasi politik di PEMILU Fakultas atau PEMIRA? Kalau
memang kamu berniat kontribusi di BEM ya bergiatlah kamu di dalamnya dan ajaklah
rekan-rekan sepergerakanmu untuk memenuhi BEM dengan kontribusi kalian”.
“kayaknya kerja di BEM itu banyak dan melelahkan ya, tapi kok ya
ternyata banyak juga mahasiswa yang belum tau itu?”. Rekan-rekan mahasiswa harus
tahu bahwa BEM yang mereka miliki ini sebenarnya bisa dikatakan miskin dan
selalu dilema di bidang kemediaan. Anggaran dana yang mereka terima tidak
sebanding dengan tugas-tugas yang harus dan ingin mereka lakukan sehingga
mereka dituntut untuk menambah kerja dan waktu guna pencarian dana tambahan dan
sponsorship dari eksternal kampus. Setidaknya
selama mengenal dan aktif di dalam BEM, aku belum pernah menemukan BEM yang
memiliki sistem media dan opini yang kuat untuk memaksimalkan publikasi
kinerja-kinerja mereka dan pencerdasan isu-isu ke publik, bahkan untuk sekedar
dalam lingkup sesempit masyarakat kampus dan sesepele pencitraan nama baik
lembaganya. Kondisi ini biasanya karena terbentur dengan pendanaan, kuantitas
dan kualitas SDM media dan opini yang mereka miliki. Ini dia yang mungkin
membuat mahasiswa lain dan masyarakat tidak pernah benar-benar tahu penuh apa
yang telah BEM dedikasikan di sepanjang kepengurusannya. Berita-berita baiknya
tertutup oleh beberapa oknum kader BEM yang sering bolos dan titip absen dalam
tugas juga kelas, berita-berita baiknya tertutup oleh beberapa oknum kader BEM
yang tidak berintegritas dalam kesehariannya, berita-berita baiknya
tertutup oleh berita-berita dari media
swasta tentang mahasiswa biang kerusuhan di tanah Sulawesi. Atau sengaja
ditutup-tutupi? Entahlah.
BEM, di masa-masa regenerasi
seperti ini biasanya penuh dengan propaganda politik. BEM hanya milik golongan
tertentu-lah, BEM eksklusif-lah, Presiden BEM dan Menteri-Menterinya
kepanjangan tangan partai nasional-lah, Ketua BEM anti pluralitas-lah, Partai
mahasiswa ini mendapatkan dana dari partai nasional-lah, Partai mahasiswa itu
cuma menjual tampang kadernya-lah, penipuan administratif-lah, penggelembungan
suara-lah, daaaannnn lain-lain. Ini suasana yang wajar dalam lapangan
politik, namun akan menjadi sangat tidak wajar di wilayah kampus intelektual
ini ketika mahasiswa-mahasiswa yang terlibat itu tidak memproses konteks-konteks
tersebut secara akademis, tanpa data dan bukti. Korbannya tentu adalah
mahasiswa-mahasiswi yang tidak terlalu ngeh
dengan politik, dibodoh-bodohi seniornya, dibodoh-bodohi politisi busuk. Alih-alih
pencerdasan politik, malah pembodohan publik dan penanaman benih-benih konflik.
Jangan-jangan hal inilah yang membuat hilangnya simpati khalayak mahasiswa
untuk berpartisipasi dalam PEMILU Fakultas dan PEMIRA. Lihat saja, partisipasi
mahasiswa UGM yang memiliki hak pilih dalam PEMIRA ataupun PEMILU Fakultas
(program Strata 1 dan Diploma) rasa-rasanya tidak pernah sampai 50%. Fakultasku
termasuk yang paling parah partisipasinya, aku menilainya setelah melihat data
grafik partisipasi PEMIRA selama 4 tahun terakhir dari 5 rumpun Fakultas yang
ada di UGM; rumpun Teknik, rumpun Sosial Humaniora, rumpun Fakultas Kesehatan,
rumpun Sains, dan rumpun Agro. Secara jumlah, Fakultas Teknik adalah rumpun
yang paling kaya akan jumlah mahasiswa, namun partisipasinya paling minim jika
dibandingkan rumpun lainnya.
BEM ada atas perjalanan panjang
para pendahulu mahasiswa di negeri ini yang memperjuangkan perbaikan-perbaikan,
sejak bernama Dewan Mahasiswa dan terus mengalami transformasi hingga kini
bernama BEM. Para pendahulu mahasiswa itu mengajarkan dalam sejarah mereka
bahwa perjuangan mereka tidak identik dengan main-main dan hura-hura, tapi identik
dengan keseriusan dan pengorbanan hal-hal yang menyenangkan. Para pendahulu
mahasiswa itu memberitahukan pada kita dalam sejarah mereka bahwa perjuangan
mereka selalu mengiringi setiap jejak peristiwa bangsa. Aku ada, aku berfikir,
aku peduli, dan aku memiliki harapan, maka aku mantap untuk menyatakan bahwa
aku ada, punya suara, dan punya karya. Dengan menggunakan hak pilihku
setidaknya aku ikut memastikan estafeta mereka itu sampai ke tangan-tangan yang
tepat.
Dalam PEMILU Fakultas dan PEMIRA
nanti, siapapun memang berhak menyatakan memilih atau tidak memilih. Yang
pasti, semua yang kita lakukan tidak akan lepas dari pertanggungjawaban,
termasuk pertanggungjawaban atas hak keterlibatan kita, atas keberadaan kita
bersama ragam potensi yang kita miliki.
Ah, sepertinya aku sudah cukup berpanjang cerita di sini. Inti dari keseluruhan isi catatan ini sebenarnya adalah ajakan. Ajakan untuk mengenal BEM lebih dekat dan berpartisipasi aktif nan sehat dalam perguliran masa aktivisme BEM, agar BEM semakin baik dalam menjalankan peran-peran dan tugas-tugasnya. Siapapun berhak berkompetisi untuk mengisinya, asalkan dengan cara yang layak dilakukan oleh mahasiswa dan tidak mencoreng nilai-nilai kenegaraannya; spiritualitas, moralitas, persatuan, kerakyatan, musyawarah, intelektualitas dan keadilan. Siapapun berhak mengisi tampuk kepemimpinan dan aktivisme lembaga-lembaga mahasiswa, asalkan benar-benar kuat serta siap dalam menjalankan amanah-amanahnya sehingga tujuan dan fungsi lembaga itu tetap terpenuhi. Karena toh kelak ketika telah menjadi pengurusnya, dia tetap dituntut untuk memiliki itikad dan ikhtiar mengakomodir semua elemen mahasiswa di UGM, bukan hanya mengakomodir rekan-rekan sesukanya.
Betapa kelak aku berhak untuk
marah, memberi kritik dan masukan, ketika sesuatu yang aku terlibat di dalamnya
itu tidak menjalankan amanah sebagaimana mestinya. Betapa aku pun kelak berhak
untuk bangga dan bahagia ketika sesuatu yang aku terlibat di dalamnya itu
ternyata menuai keberhasilan, terlebih bisa mempertahankan kebaikan-kebaikan
yang mereka buat itu sehingga masa depan bangsa ini dipenuhi orang-orang berintegritas,
yang telah hilang ambisi nafsunya dan teruji mendedikasikan hidupnya untuk
kemaslahatan orang banyak.
12 Desember 2012, dari sebuah
gumam di kampung visi
Yuhhuuuu...
BalasHapusKm Jurusan Teknik Ap...?? Angkatan Brp...?
aku Teknik Mesin UGM angkatan 2007 masbro :)
Hapusaku Teknik Mesin UGM angkatan 2007 masbro :)
BalasHapus