1 Desember, awal bulan ini aku
isi dengan sebuah perjalanan ke Jombang, tepatnya ke Pondok Pesantren Bahrul
Ulum, Tambak Beras. Ini momen akbar tahunan bagi para mahasiswa-mahasiswi penerima
Beasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi Departemen Agama Republik
Indonesia (PBSB DEPAG RI), tajuknya adalah pembinaan nasional dan pemilihan
kepengurusan nasional. Bagiku pribadi ini adalah pertemuan nasional kelima yang
aku ikuti, yang pertama aku ikuti bertempat di sebuah hotel di Bandung,
kemudian tahun berikutnya di sebuah Pondok Pesantren di Brebes, kemudian tahun
berikutnya lagi di Pondok Pesantren Pandanaran Yogyakarta (pertemuan tidak
nasional, dibagi per regional, UGM digabung dengan UIN), kemudian tahun berikutnya
lagi di Bali, dan sekarang –tahun ini- di Jombang, Jawa Timur. Dari kesemua
pertemuan akbar tersebut yang paling berkesan adalah yang pertama, di Bandung.
Belum ada tandingannya dalam aspek kenyamanan, pelayanan, kesahajaan,
koordinasi kepanitiaan, kondusivitas forum, dan kebersamaan. Dan yang paling
kacau –untuk parameter yang sama- adalah pertemuan nasional yang di Bali.
Ada apa saja di pertemuan
nasional mahasiswa PBSB DEPAG RI?
Banyak, mulai dari jalan-jalan, refreshing, materi-materi, focus group discussion (FGD), studium generale tokoh, pendampingan akademik, pendampingan bekal ilmu untuk pasca lulus, pentas seni, taushiyyah kyai, mujahadah-an, dll. Yang paling terimpresikan dari kesemua agendanya -menurutku sih- tendensius banget kepada salah satu organisasi Islam. Meskipun di setiap tahunnya selalu digembar-gemborkan nilai pluralitas –bahkan sampai pluralisme-, tetap saja secara tidak langsung menyatakan ‘organisasi inilah yang paling cocok untuk muslim di Indonesia dan yang lainnya tidak’. Istilah Islam nasional dan trans-nasional menjadi kajian wajib di setiap forum tahunan ini, membuatku tidak habis pikir, lha bukannya Islam itu secara fitrahnya juga trans-nasional? Dia hadir bersama hadirnya dakwah para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para pedagang muslim, datang dari luar ke tanah air Indonesia. Ketika organisasi Islam trans-nasional menjadi bagian jalan hidup seseorang, kemudian seseorang tersebut dinilai telah terindikasi doktrin radikalisasi agama dan fundamentalisme. Heran, kalau aku mencoba memahami maknanya, ‘radikal’ yaitu mengakar, dan ‘fundamental’ yaitu asas/mendasar, maka seharusnya itu sesuatu yang positif, ketika Islam hadir dengan keasliannya sebagaimana ajaran Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bukankah itu hal yang istimewa? Akhirnya kebingungan dan keheranan ini aku biarkan lewat saja daripada muncul perdebatan yang kontraproduktif.
Banyak, mulai dari jalan-jalan, refreshing, materi-materi, focus group discussion (FGD), studium generale tokoh, pendampingan akademik, pendampingan bekal ilmu untuk pasca lulus, pentas seni, taushiyyah kyai, mujahadah-an, dll. Yang paling terimpresikan dari kesemua agendanya -menurutku sih- tendensius banget kepada salah satu organisasi Islam. Meskipun di setiap tahunnya selalu digembar-gemborkan nilai pluralitas –bahkan sampai pluralisme-, tetap saja secara tidak langsung menyatakan ‘organisasi inilah yang paling cocok untuk muslim di Indonesia dan yang lainnya tidak’. Istilah Islam nasional dan trans-nasional menjadi kajian wajib di setiap forum tahunan ini, membuatku tidak habis pikir, lha bukannya Islam itu secara fitrahnya juga trans-nasional? Dia hadir bersama hadirnya dakwah para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para pedagang muslim, datang dari luar ke tanah air Indonesia. Ketika organisasi Islam trans-nasional menjadi bagian jalan hidup seseorang, kemudian seseorang tersebut dinilai telah terindikasi doktrin radikalisasi agama dan fundamentalisme. Heran, kalau aku mencoba memahami maknanya, ‘radikal’ yaitu mengakar, dan ‘fundamental’ yaitu asas/mendasar, maka seharusnya itu sesuatu yang positif, ketika Islam hadir dengan keasliannya sebagaimana ajaran Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bukankah itu hal yang istimewa? Akhirnya kebingungan dan keheranan ini aku biarkan lewat saja daripada muncul perdebatan yang kontraproduktif.
Bagaimanapun juga, momentum ini selalu membuatku tidak bisa menahan tangis haru. Bisa dibayangkan dan dirasakan, dahulunya kami mungkin seringkali berada pada paradigma orang-orang yang tidak dihitung dalam kancah prestasi akademis keilmuan umum. Santri itu urusan keilmuannya ya di bidang keagamaan, selebihnya paling kemampuan wirausaha -itu pun biasanya kecil-kecilan-. Aku masih ingat sebuah celotehan dari seorang teman ayah-ibuku sesama guru di SMA Negeri di kampungku setelah tahu bahwa aku ditugasbelajarkan di Pesantren oleh kedua orang tuaku; "Pak Ahyo ini kok tega 'ngebuang anak'". Sampai sekarang paradigma negatif seperti itu masih ada, misalnya yang paling umum 'anak nakal itu harus dipesantrenkan biar jadi anak baik', Pesantren menjadi semacam tempat 'buangan' atau penggemblengan anak yang berkebutuhan khusus dalam aspek moral dan agama. Sekarang lambat laun paradigma ini sedang dikikis sejak tahun 2005 dengan adanya program kerja sama yang dibangun oleh DEPAG RI, beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dan seluruh Pesantren di Indonesia. Program kerja sama untuk menguliahkan alumni-alumni Pesantren di PTN Favorit Indonesia, bahkan kemudian bisa dilanjutkan dengan pengiriman belajar ke luar negeri jika bisa memenuhi beberapa syarat. Sekarang, mereka para santri yang dahulunya seolah dibatasi paradigma sempit itu bisa melanglangbuana membangun cita-cita dan kontribusi yang lebih luas, menjadi teknokrat, ilmuan, peneliti sosial, dsb.
Tidak seperti tahun-tahun
sebelumnya, tahun ini aku tidak bisa ikut merasakan sebagaimana para mahasantri
–sebutan keren kami- yang lain untuk berkumpul dengan mahasantri lain yang
memiliki kesamaan almamater pesantren. Terhitung 13 orang sebenarnya yang
sealmamater pesantrennya denganku, tapi yang terlihat selain aku cuma satu
orang. Hampir separuhnya sudah menyelesaikan studi, sisanya sibuk dengan
aktivitas barunya atau mungkin merasa rikuh, canggung, bahkan gengsi jika masih
harus berkumpul dengan adik-adik angkatan yang semakin banyak. Sebagaimana yang
aku rasakan awalnya, ragu dan gengsi untuk ikut namun kemudian meyakinkan diri
bahwa ini adalah sarana menyambungkan kembali silaturrahim atas diriku yang
memang terhitung jarang berinteraksi dengan saudara-saudariku mahasiswa PBSB
DEPAG RI. Pada realitasnya ternyata aku bisa dikatakan sebagai peserta tertua
di kumpulan peserta pertemuan nasional ini, ah, merasa kesepian di keramaian,
-introspeksi diri untuk segera menyusul yang sudah menyelesaikan amanah studi
S1-.
1 Desember tahun ini bagiku cukup
spesial, karena hari ini juga bertepatan dengan tanggal 18 Muharram 1434 H.
Demikian artinya usiaku dalam perspektif tahun hijriyah sudah sampai pada angka
24. Alhamdulillaah. Seketika sadar
langsung banyak hadir rancangan-rancangan targetan di usia 24 ini. Yang paling
prioritas adalah LULUS S1, Insyaa-Allaah,
kemudian meningkatkan kemandirian finansial, bersiap-siap menuju fase kehidupan
yang lebih menantang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar