Semuanya berubah setelah kamu hadir di keseharianku. ‘Kita’ menjadi
lebih sering berdefinisi aku dan kamu. Sehingga aku adalah kamu, kamu adalah
aku.
Semuanya berubah setelah kamu menemaniku belajar tentang
cinta. Aku merasa cintaku bertambah, tak mengurangi deretan cinta yang pernah
aku bangun di atas garis yang membentang antara aku dan orang-orang di
sekitarku. Bukan cinta tentang kepuasan pada rupa, harta, dan tahta. Ia seperti
melakukan lompatan yang tinggi dan jauh hingga tidak ada lagi aku temukan jurang
yang menganga dan menawarkan diri untuk diisi.
Semuanya berubah setelah kamu menempati ruang-ruang
perhatianku. Aku tidak lagi was-was khawatir saat ada pesan curahan hati
pribadi mengisi kotak masuk pesan di telpon genggamku, karena jika itu bukan datang
darimu kita akan membagi perhatian dengannya bersama-sama.
Semuanya berubah setelah kamu menguasai ingatanku. Ada yang
menggelitik tawa untuk bahagia dan membocorkan kantung-kantung air mata untuk
kerinduan. Deretan peristiwa kita telah membuatku tidak lagi betah bersendiri
di keramaian, aku ingin selalu cepat pulang dan menarikmu secepat kilat ke
pangkuan.
Semuanya berubah setelah kamu duduk di ruang makanku. Aku
menjadi rakus pada menu-menu kebersamaan denganmu. Berhadapan ataupun
bersebelahan. Menikmati makan sendirian adalah ungkapan paradoks, rasanya
hambar, hampa, dan duka. Hingga dalam hitungan waktu yang singkat, endapan
bumbu cinta yang kamu bubuhkan pada masakanmu membuat badanku semakin berat,
membuatku merasa berat untuk melangkah melepas gandenganmu yang erat.
Semuanya berubah saat kamu menerimaku menjadi bagian dari
masa depanmu. Tidak ada aku di imaji masa depan. Ada kita dan cinta untuk semua
hal di sekitar kita.
Aku berubah. Kamu berubah. Kita berubah. Orang-orang di sekitar kita berubah. Semua hal di
sekitar kita berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar