“thala’al badru ‘alainaa, min tsaniyyaatil wadaa’,
wajabasysyukru ‘alainaa, maa da’aa lillaahi daa’,
ayyuhal mab’uutsu fiinaa, ji-ta bil amril muthaa’,
ji-ta syarraftal madiinah, marhaban yaa khayra daa’….”
Nasyid ini menggema merdu berulang-ulang memenuhi setiap sudut
ruangan Gedung Islamic Center Kabupaten Ciamis, pun ruang batinku.
Mungkin saja kesyahduan ini juga yang dirasakan olehAnshaar dan Muhaajiriin ketika menyambut kedatangan Rasulullah Muhammad –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-,
atau bahkan lebih dahsyat karena kedahsyatan pribadi yang mereka sambut
kala itu. Terlepas dari realita suasana yang terjadi dalam sejarah,
bagiku hari ini memang benar-benar terasa syahdu ketika menyambut
rombongan jama’ah haji dari Kabupaten Ciamis, terlebih karena di antara
kerumunan mereka ada ibu dan bapakku.
Kesyahduan siang ini benar-benar menjadi katalis yang membuat ledakan
rindu semakin cepat dan besar. Kedahsyatan ledakannya membuat setiap
kelopak mata tak bisa menahan kerutan haru, tumpahruahlah ruangan dengan
air mata, tidak ada yang bisa membendung, tidak ada yang tidak
berlinang air mata haru. Siapa pun pasti akan merasakan keharuan itu,
bercampur bangga meskipun bukan diri yang menjadi tamunya Allah ta’ala.
Berjam-jam dalam penantian yang dibakar terik matahari seolah tak
terasa, bak tanah kemarau tahunan yang disiram hujan. 40 hari pemisah
memang tak terasa, namun kerinduan ini hadir dan tumbuh dengan tak
terduga. Ah, betapa mulia rasanya menjadi tamuMu di Baitullah,
kebahagiaan tamuMu bisa menjadi kebahagiaan banyak orang. Lantas aku
teringat di saat para tetangga berkumpul sampai membentuk barisan berisi
belasan mobil penuh penumpang hanya untuk mengantar 6 orang
tetangganya, di rombongan kampung lain bahkan ada yang menambahkan
sirine dan lantunan shalawat di sepanjang iringan perjalanan mereka.
Seperti kebahagiaan tetangga-tetanggaku di hari ini, setiap mereka
seperti berlomba mengunjungi rumahku untuk menagih cerita dan
kebahagiaan.
Muslim dan Muslimah mana yang tidak menghendaki kepergian ke
baitullah? Aku kira dan rasa, tidak ada! Sudah banyak orang yang
menginspirasi kesungguhan untuk berhaji, lewat pengajian-pengajian
sampai dunia sinema seperti tukang becak dan ‘supir’ andong yang
berhasil haji dengan tabungan uang penghasilannya selama bertahun-tahun,
atau film ‘Emak Ingin naik Haji’, dan lain sebagainya. Dalam kasus
pribadiku pun, ibu-bapakku sangat menginspirasi. Sejak beberapa tahun
silam ketika aku masih berseragam putih-merah dan takut tidur sendiri,
kalimat ini selalu terngiang, “ibu hoyong haji iq, sing hemat nya, ibu nuju nabung!”*).
Kalimat ini diucapkan ibuku ketika aku merengek-rengek meminta uang
jajan kepadanya, dan kemudian selalu terngiang di batin ketika aku
menghadap beliau, membuat tenggorokanku seolah tercekat untuk
mengucapkan “bu, Iqbal butuh uang”.
Untuk tahun ini kabarnya jumlah jama’ah ibadah haji memecahkan rekor
tahun-tahun sebelumnya, tercatat ada sekitar 6 juta jiwa. Indonesia
sendiri ‘menyumbangkan’ sekitar 200.000 jiwa, jumlah yang benar-benar
dahsyat untuk membangun Indonesia yang madani. “Lho, maksudnya?” Lha iya,
seandainya kesemua orang itu berhasil meraih predikat mabrur berarti
Indonesia memiliki 200.000 orang baru yang berkualitas surga. Bisa kita
bayangkan, ketika 200.000 orang itu diakumulasi dengan jutaan orang
lainnya di Indonesia yang lebih dahulu melaksanakan ibadah haji, berapa
totalnya kira-kira? Maaf, aku juga tidak bisa menghitung angka pastinya,
yang pasti menurutku adalah jikalau mereka semua benar-benar menjadi
Haji yang mabrur berarti Indonesia memiliki jutaan orang berkualitas
surga sehingga Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafuur.
Emangnya mabrur itu artinya apaan? Kalau bereferensi secara terminologis ia adalah bahasa Arab yang berasal dari kata Barra-Yaburru-Barran yang
artinya taat berbakti, sedangkan dalam perspektif etimologisnya ya haji
yang mabrur itu haji yang diterima amalannya oleh Allah ta’ala. Nabi
Muhammad –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: alhajjul mabruuru laisa lahul jazaa-u illal jannah yang artinya, “Haji yang mabrur tiada balasan kecuali surga.’’
(Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Seandainya jutaan orang itu
berhasil menjadi orang yang berkualitas surga, maka sudah sepantasnya
Indonesia juuaaaauuuh dari kasus korupsi dan
kejahatan-kejahatan lainnya, terlebih mereka yang berhaji mayoritas
berasal dari kaum konglomerat, bangsawan, dan negarawan. Konon kabarnya,
penyebutan gelar Haji dan Hajjah dimulai pada masa kolonial Belanda
sebagai penanda karena mereka yang sudah berhaji pada masa itu selalu
menjadi pionir perubahan di tengah-tengah masyarakat sehingga harus
diwaspadai. Bisa kita lihat contoh konkritnya pada sosok K.H. Hasyim
Asy’arie dan K.H. Ahmad Dahlan, setelah kepulangan mereka dari ibadah
haji mereka menjadi penggerak dalam pembaharuan dan pendongkrak semangat
kemajuan masyarakat Indonesia di bidang agama, sosial, ekonomi,
pendidikan, politik dan kesehatan.
“Berarti kamu mau bilang kalo banyak jama’ah haji kita yang gak mabrur, gitu?”
Dibilang demikian juga bisa, silakan. Aku hanya mencoba merefleksikan
fenomena yang ada di negeri kita ini. Jangan-jangan, niatan haji kita
kelak yang tidak ikhlas menjadikan haji kita tidak mabrur.
Jangan-jangan, di antara uang ongkos perjalanan haji kita terselip uang
yang tidak halal sehingga haji kita tidak mabrur. Jangan-jangan, ada
rangkaian manasik yang tidak kita laksanakan secara maksimal sehingga
haji kita tidak mabrur. Alih-alih perubahan positif yang diharapkan
hadir dari para haji dan hajah, yang terjadi malah sebaliknya. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Dari cerita yang aku dapatkan di sana, banyak jama’ah yang tidak siap
berhaji. Misalnya saja ada yang sholatnya saja nampak jelas masih belum
mengerti secara utuh sehingga kacau dalam shaf, bersuci, gerakan,
bacaan, dan tidak mengerti ayat sajdah. Atau ada yang tiba-tiba seperti
terkena gangguan kejiwaan dan kesehatan, berak-berak dan kencing
sembarangan, buang sampah sembarangan, pelecehan seksual, stress,
linglung, bahkan sampai ada yang menutup usia fana di sana, -sehingga
setiap shalat fardhu selalu diiringi berita kematian dan dilanjut shalat
jenazah-.
Ah, kesyahduan ini masih menyata di pelupuk jiwa. Melambungkan
bayangan masa nanti ketika bisa memenuhi panggilan ke baitullah. Semoga
kelak kita bisa memenuhi panggilan ke sana dalam kondisi jiwa-raga yang
terbaik sehingga bisa optimal menempuh setiap syarat, rukun, wajib, dan
sunnahnya. Semoga mereka yang sudah berhaji menjadi energi positif baru
di tengah-tengah rakyat, menjadi penuntas masalah mereka, dan menjadi
pahlawan mereka yang menginspirasi arah kemajuan negeri.
Labbaika Allaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika
Ciamis, 5 November 2012, dalam jemputan rindu nan syahdu
*) ibu mau berhaji Iq, yang hemat ya, ibu sedang menabung!
Inspirasi :
- Ayah-Bunda
- Keluarga
- Hari ini
- Diskusi sehari-hari
- Al-Qur’an
- Al-Hadits
- Kamus Al Munawwir
- http://abusyafwan.blogspot.com/2008/04/mabrur.html
Subhanallah,
BalasHapusmengantarkannya penuh haru dan kepasrahan
menunggunya penuh harap dan kecemasan
menjemputnya penuh rindu dan kebahagiaan
#msh harus nunggu 10hari lagi
betewe,
kalo jmput org pulang haji nasyidnya itu ya?
siap siap ngapalin ah.
#gagalfokus
postingan komenmu ternyata masuk box spam Des, hehe..
Hapusoh, ortumu juga periode kemarin to?? selamat ya, semoga barakah dan mabruur, aamiin..
iya, di Ciamis si gitu, gatau deh kalo standar Lampung gimana :D
itu nasyidnya dari panitia kok, yang ngjemput mah gak perlu ikutan, cukup menikmati :)
Tiap tahun semakin banyak aja mereka yang mau berangkat haji, padahal quota tetap, bertambahpun sdikit... jd inget pesen mamah :') Nabung dari sekarang, supaya ndak ketuaan berangkatnya, jadi bisa maksimal ibadahnya
BalasHapusSmoga Allah memudahkan, salam semangat Bal !
bener ki, antrinya pun jadi tambah lama :)
BalasHapusinsyaa-Allaah kalau kita masih dalam kondisi muda dan kuat bisa lebih maksimal ibadahnya di sana, banyak cerita mereka yang tua-tua di sana mayoritas kerepotan
aamiin
salam Sehat dan Semangat!! B)