Dia adalah tautan rasa kepemilikan atas darah, jiwa, cinta, empati, ideologi, sejarah, prinsip, ‘aqidah. Kemudian beberapa menganalogikannya sebagai kerinduan untuk perjumpaan, beberapa yang lain memaknainya sebagai kebersamaan yang syahdu, beberapa yang lainnya lagi mengumpamakannya sebagai sinapsis-sinapsis dalam sistem jaringan syaraf. Identik tapi unik.
Dia adalah jutaan jiwa dalam satu tubuh. Jika kaki kita terantuk karang, tangan tak kuasa berdiam untuk meraihnya, mulut tak ambil pusing untuk menunjukkan ekspresi termanyun-manyun lalu mengaduh, mata tak tega untuk tidak menggenangkan sedihnya, dahi tak tertahan untuk tidak mengerutkan keprihatinan. Dalam ukhuwwah kita mencoba untuk merangkai lengkung rasa yang sama; senyum dengan senyum, cemberut dengan cemberut, dan yang luar biasa adalah cemberut dengan senyum.