Selasa, 30 Juni 2015

Kemuliaan dalam Kebersamaan

Sensitifitas kita selaku manusia mungkin akan membuat kita mengeluh lalu ingin menjauh dari lingkungan yang membuat kita merasa terganggu dan tertekan. Menjauhi keramaian, menutup diri, dan memilih waktu-waktu sendiri. Namun setelah itu kemudian kita mengalami perasaan yang paradoks, ingin ada sosok yang menguatkan, membantu, dan mendorong kita untuk kuat. Ratapan dan do’a kita panjatkan berharap Allah Ta’ala segera mengabulkan, atau berandai-andai atas sosok yang mampu mendukung dan membantu permasalahan kita.

Tidak ada yang benar-benar mampu sendiri dan menyendiri. Naluri sadar manusia selalu mengharapkan adanya kekuatan yang mampu membuatnya benar-benar merasa ada, hidup, dan lengkap. Allah Ta’ala menciptakan kita utuh dengan perasaan membutuhkan orang lain. Sebesar apapun ego manusia tidak akan bisa mengelak dari sesuatu yang mendasar ini. Pada kenyataannya juga Allah Ta’ala telah menciptakan semua makhluknya beserta pasangan jenisnya. Naluri membutuhkan orang lain dan realita penciptaan pasangan jenis telah melengkapi kemanusiaan kita.

Ibnu Katsir menerangkan beberapa riwayat penciptaan Adam ‘alaihissalâm dalam kitab tafsirnya. Awalnya Allah Ta’ala menciptakan seorang manusia di semesta ini, yaitu Adam ‘alaihissalâm. Setelah Iblis diusir Allah Ta’ala dari surga karena kesombongannya, tinggallah Adam sendirian di surga. Dia berjalan-jalan sendirian di surga dalam kesepian. Suatu saat ketika bangun tidur Adam melihat sesosok makhluk sejenis dirinya tengah duduk di dekat kepalanya. Adam kemudian menyapanya dengan pertanyaan, ”Siapakah anda?”. ”Wanita”, jawab sosok itu. Adam bertanya lagi, ”untuk apa anda diciptakan?”, wanita itu kemudian menjawab ”supaya anda merasa senang padaku”. Lalu para Malaikat mendatangi Adam ‘alaihissalâm untuk mengetahui seberapa luas ilmu yang dimiliki Adam. Mereka bertanya, ”siapakah namanya, Adam?”, Adam menjawab ”Hawwa!”. Malaikat kembali bertanya, ”mengapa namanya Hawwa?”, Adam menjawab ”karena dia dijadikan dari benda hidup”.

Demikianlah kisah interaksi sosial pertama yang terjadi antar manusia. Interaksi sosial merupakan fithrah basyariyyah (naluri manusiawi) yang menjadikan hidup menjadi lebih bermakna. Keadaan Nabi Adam ‘alaihissalâm sebelum kedatangan Hawwa digambarkan dalam Tafsir Ibnu Katsir “berjalan-jalan sendirian dan kesepian”. Setelah itu, lahirlah keturunan dari Adam dan Hawwa, laki-laki dan perempuan, sehingga jumlahnya menjadi milyaran ummat manusia seperti sekarang ini. Dengan semakin berkembangnya jumlah laki-laki dan perempuan hingga menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, maka semakin niscayalah interaksi antar manusia. Baik dalam lingkungan yang padat ataupun yang jarang penduduknya. Keharusan berinteraksi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial seperti kakeknya terdahulu, Adam dengan Hawwa.

Allah Ta’ala berfirman; “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya [maksud ‘darinya’ menurut mayoritas Ulama tafsir ialah dari bagian tubuh, tulang rusuk Adam ‘alaihissalâm, berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Ada pula yang menafsirkan ‘darinya’ ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang darinya Adam ‘alaihissalâm diciptakan] Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan jagalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (an-Nisâ` [4]: 1). Dalam firman-Nya yang lain, ”… menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …” (al-Hujurât [49]: 13).

Demikianlah Allah Ta’ala menjelaskan kepada kita rahasia penciptaan manusia yang beragam kulit, bahasa, tradisi dan alamnya. Semuanya bukan untuk saling bermusuhan dan menumpahkan darah sesama manusia. Tetapi untuk saling mengenal, saling membutuhkan dan saling mengunjungi. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh, beliau tidak pernah merubah nama suku sahabatnya. Seperti suku ‘Aus dengan suku Khazrâj, meskipun kedua suku tersebut pernah terlibat peperangan dalam waktu yang lama, yang beliau ubah adalah sikap permusuhan di antara keduanya yang kemudian diganti dengan sikap persaudaraan. Demikian pula antara shahabat Muhâjirîn dan Anshâr serta shahabat lainnya.

Fitrah sosial manusia ini dibersamai oleh perintah berjamaah dari Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Berjamaah, berbuat baik bersama-sama dalam kelompok, adalah perintah dan kemuliaan dalam Islam. Sebagaimana maksud dari perintah syari’at lainnya, dengan berjamaah seorang manusia didekatkan pada fitrahnya yang lurus dan suci.

Sebuah perjalanan menjadi mulia dengan adanya jamaah dan pemimpin. Shalat jamaah mendapatkan kemuliaan pahala berkali-kali lipat dari shalat munfarid. Menikah menyempurnakan diin. Shalat dua rakaat yang didirikan oleh orang yang menikah lebih tinggi derajatnya dari shalat malam dan puasanya bujangan. Silaturrahim menautkan kasih sayang dan memanjangkan usia. Jengukan meringankan sakit. Kerja kelompok, bergotong-royong, meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja. Memimpin dan bermasyarakat mematangkan kedewasaan. Nasi menjadi nikmat dan mengenyangkan ketika tak hanya dimakan sebutir. Gigi kita menjadi sangat bermanfaat dan nyaman ketika personilnya lengkap dan bekerjasama.


Bersabar dalam jamaah akan menjadi kemuliaan daripada menyendiri mengamankan diri. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengajak kita, ummatnya, untuk bergaul dengan masyarakat kita dan bersabar terhadap berbagai macam perilaku mereka. Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda; ”seorang Mukmin yang berinteraksi dengan masyarakat dan bersabar terhadap segala macam cobaan dari mereka lebih agung pahalanya daripada seorang Mukmin yang tidak berinteraksi dan tidak bersabar terhadap cobaan manusia” (HR. Muslim).

Kebersamaan yang baik dimulai dari proses saling mengenal (ta’âruf) yang baik. Dari proses saling mengenal yang baik itu kemudian terbangunlah proses saling memahami (tafâhum). Mereka yang kebersamaannya diisi dengan saling memahami tentu mengetahui dan memiliki cara terbaik untuk saling memberikan manfaat, sebisa mungkin tidak saling memberi madharat. Dan puncaknya kebersamaan yang baik adalah ketika seorang mukmin mendahulukan kepentingan mu’amalah mukmin yang lain di atas kepentingan mu’amalah dirinya sendiri. Hikmah ini barangkali sejalan dengan yang pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Jiwa-jiwa itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah”.

Kebaikan akan selalu indah dan terasa lebih bermakna ketika berada dalam kebersamaan, lain dengan kemaksiatan akan dirasa aman di saat tersembunyi meski sejatinya tidak tersembunyi. Berjamaah dengan orang-orang salih mempermudah kita terhindar dari maksiat, menjauh dari jamaah orang salih mempermudah kita berkumpul dengan prasangka dan maksiat.

***

Timika, 30 Juni 2015
*sambil menunggu waktu buka puasa bersama*

1 komentar:

  1. emang klo masalah kebaikan kita haru saling mengajak dan mengingatkan.

    BalasHapus