Senin, 30 Maret 2015

Cinta Mandalika

Pertengahan Februari 2015, selepas shalat isya, beberapa hari sebelum meninggalkan Sumbawa, seorang tetangga berbagi sebuah cerita legenda. Beliau membuka cerita dengan kalimat "kita telah melewatkan momentum kerakyatan di masyarakat Lombok". Ada sebuah tradisi kerakyatan Lombok Tengah bagian Selatan yang dilakukan tahunan di sekitar pertengahan Februari dan membuat masyarakat berbondong-bondong meramaikan kawasan tepi pantai Seger Kuta. Tradisi kerakyatan ini memiliki latar belakang legenda yang bisa kita ambil pelajaran dan hikmahnya.

Markidot..

***

Alkisah...

Sebelum abad ke-16 Masehi, berada di suatu negeri yang makmur sejahtera tak mengenal ngeri, hiduplah seorang putri yang perfect, ia menjadi idaman para lelaki dari berbagai negeri. Ia menjadi pujaan tanpa media pencitraan, mempesona tanpa menyengaja menebar pesona. Ialah Mandalika, putri raja yang cantik jelita, cerdas nan bijaksana, ramah sikap dan tutur kata. Bisa dibayangkan dan dikira-kira, perjaka hingga duda pasti jatuh cinta, pangeran dari berbagai negeri hingga petani pasti jatuh hati. Ia disayang, ia dibanggakan, oleh seantero penduduk negerinya.

Sang putri Mandalika mengahadapi dilema, sanya cinta yang buta bisa berbahaya, ketika cinta hanya dimaknai dengan ‘memiliki’. Para pangeran dari berbagai negeri yang jatuh hati pada sang putri berebut perhatian dan pengakuan, berbagai bentuk lamaran diajukan, berbagai jenis kelebihan dipamerkan, rupa-rupa ketampanan ditebarkan. Sang putri yang baik hati tak sampai hati menolak semua yang mereka beri. Siapa kira akhirnya perebutan itu kemudian menjelma peperangan? Perang pun menjadi ajang uji keberuntungan para pangeran. Darah ditumpahkan, keringat dikucurkan, harta dibelanjakan, nyawa dikorbankan. Demi bukti cinta?

Sang putri yang bijaksana tak rela kekacauan kian merajalela. Ayahnya, sang raja yang dikenal bijaksana, pun nampak tak punya kuasa. Musyawarah tidak menemukan arah, diskusi tak kunjung berbuah solusi. Ibarat buah simalakama, lamaran ditolak ataukah diterima, dua-duanya berpotensi petaka. Sang putri kemudian bersikap! Ia mengakui telah berbuat nyalaq (salah), penerimaannya pada semua ungkapan cinta ternyata memantik petaka. Sang putri memutuskan secara diam-diam bahwa ia akan mengorbankan diri ketika tak satu pun dari para pangeran yang merelakan obsesinya terhenti.

Putri Mandalika menghadap kumpulan massa yang telah diundangnya, menghadirkan seluruh pangeran bersama masyarakatnya. Di pagi yang masih buta, di hadapan para pengagumnya itu ia lalu naik ke sebuah batu karang kemudian menghempaskan tubuhnya ke lepas samudera. Tak disangka tak dinyana, awalnya semua mengira sang putri akan berbagi kabar gembira atas pilihannya di sana. Semua mata berduka, semua cinta terluka. Di detik-detik pengorbanan sang putri itulah ada wasiat yang mengemuka, adalah sang putri hanya ingin cintanya tersebar terbagi di sana.

Pantai Seger Kuta menjadi saksi, semua mata mencari, semua cinta menanti. Namun karang dan samudera tak menjawab pencarian semua orang yang mengasihi sang putri dengan jasad yang telah mati, melainkan dengan munculnya makhluk lain berwujud cacing yang beranekaragam warna. Makhluk itulah yang kemudian dikenal dengan nyale, cacing laut (Eunice Fucata) yang diyakini oleh masyarakat di sana sebagai jelmaan sang Putri Mandalika. Semenjak hari itu, tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan Sasak, warga akan berbondong-bondong ke sana setiap rentang bulan Februari dan atau Maret untuk bau (menangkap) nyale. Nyale yang ditangkap akan dikonsumsi sebagai panganan kaya protein atau ditaburkan ke sawah dan ladang untuk penyubur tanah dan tanaman. Masyarakat meyakini, itulah wujud cinta sang putri yang telah dibagi untuk seluruh penjuru negeri.



***

Begitulah kisah Cinta Mandalika, seorang Putri yang dianugerahi sekaligus diuji oleh banyaknya cinta. Ketika cinta hanya dimakna ‘memiliki’, maka di sana ada yang mendapatkan dan ada yang kehilangan. Seperti itukah cinta? Seorang guru pernah mengatakan, ‘itu cinta yang digantungkan di tempat yang salah’. Ya, ketika ‘memiliki’ menjadi satu sumbu dengan paradigma bahagia diri sendiri, maka bersiaplah kecewa dan sengsara karena tak kesampaian atau kehilangan. Itulah kemudian seorang guru ini menyimpulkan bahwa cinta itu seharusnya memberi, menggantungkan kebahagiaan diri pada kebahagiaan sosok yang dicintai. Bahagia ketika yang dicinta tumbuh menjadi pribadi yang membaik nan mempesona. Di situ, jawaban apapun atas apa yang telah diberikan tidak akan menjadi kecewa, bahkan pun ketika kebahagiaan sosok yang dicintai harus berasal dari arah yang lain.

Begitulah kisah Cinta Mandalika, seorang pemimpin yang dianugerahi sekaligus diuji oleh misi. Ketika seorang pemimpin menyadari kekeliruan sikapnya ia tidak mengorbankan orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Di sini kemudian kita lagi-lagi berjumpa dengan cinta yang memberi, bukan mengambil dan memiliki. Pengakuan “saya bersalah” tidak tabu bagi seorang Mandalika, bahkan lebih dari itu kemudian ia memilih dirinya yang meredup demi menghadirkan cahaya di ruang kemelut yang gelap nan kalap. Terlepas dari cara Mandalika mengorbankan dirinya, memilih diri sendiri yang dikorbankan demi kebahagiaan orang lain –menurut pendapatku- adalah pilihan yang luhur, ketika bahagia tidak bisa bersama-bersama, bahkan baginya berkorban itu adalah kebahagiaan.

Cinta yang memberi, ia membawa misi. Seperti yang dicontohkan sang Nabi, meski cintanya berujung pada sumpah serapah dan caci maki. Maka dalam jerit ngilu lemparan batu dan kepedihan luka duka, do’a yang mulia-lah yang lalu dipanjatkannya; “Wahai Allah, berikanlah petunjuk kepada umatku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui”.

***

Inspirasi:

  • Cerita tetangga bakda isya
  • www.ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/42-Putri-Mandalika-Asal-Mula-Upacara-Bau-Nyale-Nusa-Tenggara-Barat
  • Serial Cinta, Anis Matta
  • gambar diambil dari www.putri-mandalika.blogspot.com

3 komentar:

  1. Balasan
    1. hehe.. Legenda rakyat mas :)

      mungkin nyata mungkin nggak, Allaahu a'lam

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus