Rabu, 26 Juni 2013

Muhasabah Resah di Gempita Cita

Tertatih-tatih kita menapak tinggi letih
Hingga rasanya berjatuhan semua harapan dari perbekalan
Terbahak-bahak kita menjejak ujung puncak
Hingga berkerap terlupakan semua tujuan dari perenungan

Bersama gejolak peraduan angan dan tantangan, hampir tak bersisa harap, hingga sujud mampu menembus bumi dan desak tangis mampu menembus langit.
Bersama gempita perayaan angan dan impian, hingga tak teringat harap, hingga sujud lenyap dari memori dan gelak tawa mengguncang cakrawala.

Di mana jiwa-jiwa yang berkelana??
Di mana angka-angka kotak suara??
Di mana khotbah-khotbah ajakan jihad??

Serupa mengisi balon-balon dengan karbon, sisa-sisa, menggelembung tapi tak melambung. Lain hal jika helium yang mengisinya, gas mulia, terkembang mengawang membawa terbang.

Jangan-jangan kaki kita hanya sepasang tanpa bahu-bahu penopang?!
Jangan-jangan kuping kita hanya sepasang tanpa lisan-lisan penenang?!
Ajakan-ajakan menjadi tidak barakah, tidak bernilai tambah, bahkan mungkin menjadi wabah
Ironi pencita-cita negeri yang tegak berdiri

***

Sejak pertama berada dalam rahim tarbiyah, menu gizi kita adalah menu-menu maraatibul ‘amal, serupa appetizer hingga dessert di setiap hidangan. Mengenal syahadatain hingga memilih jalan yang lain, yang kita namai hidayah dan dakwah. Darinya, kini kita lalu gandrung bicara tentang peradaban, tentang cinta pada diin di negeri ini yang dicita kelak menjadi sokoguru semesta.

Lantas peradaban apakah yang sebenarnya sedang kita bangun? Benih belantara apa yang sedang kita tanam? Sajian apa yang sebenarnya sedang kita tawarkan untuk memenuhi rongga-rongga kepuasan mulut, perut, dan kepala orang-orang yang kita labeli ummat dan mad’u itu?

Kemudian di saat kaki-kaki kita menjejak puncak martabat insani yang bergelimang senang, tersanjungkah kita yang pandai bercakap tentang keluhuran Islam, keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudhu di dingin ujung malam, lapar perut karena shiyam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang. Tersanjungkah kita dengan licin lidah kita bertutur, sementara dalam hati hampa tak ada apa-apa. Kita telan bulat-bulat mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa kita adalah seorang salih, ‘alim, ‘abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Ada yang mengaku sepenuh jiwa-raga berjibaku, ada yang mengheningkan kata di balik tumpah ruah amal, ada yang mengheningkan cinta pada tatap mata, ada yang tidur nyenyak lalu mengigau dirinya berlari kencang dalam garis dakwah jama’ah.

Tidak ada permukaan yang mulus di atas jalan yang lurus, hingga orang-orang salih terdahulu dalam goncangan pedih langkahnya bertanya-tanya “Mataa nashrullaah…?? Kapankah pertolongan Allah akan datang…??”. Di kala terpojokkan pada sudut dinding kelam hingga tak kuasa lagi membeda kawan dan lawan, di kala fastabiqul khairaat diwarnai saling meruntuhkan, nampaknya kisah akan terulang.

Sebagaimana hikayat para penjaga bagasi-bagasi harta qarun, kunci ruang masa depan peradaban Islam itu tidak hanya untuk satu genggam tangan, tidak untuk langkah sepasang kaki. Dia energi yang terakumulasi dari luapan hati yang menggenangi hati ragam jiwa di sekitarnya, cinta yang memancarkan nuansa hangat hingga darah-darah itu mengalir menyingkirkan yang menyumbat. Dia energi yang terkonversi dari putaran-putaran kerja, dari getaran-getaran amal yang tak henti hingga ajal menepi. Dia putaran dan getaran yang serupa dawai-dawai di tangan seorang professional, mengalunkan nada-nada harmoni yang menggerakkan dengan tulus.

Mari kita keluar dari kamar-kamar berkelambu kita, keluar dari kantor-kantor ber-AC kita. Kita lipat sajadah-sajadah, sarung-sarung, dan rukuh-rukuh usai munajat panjang kita. Bergegas sepenuh energi yang terisikan dalam jiwa, raga, harta kita. Bergegas segenap luapan haru biru ridha Allah di jannah-Nya. Bergegas setinggi ‘Arsyi singgasana Rabbil ‘Aalamiin. Merengkuh tangan-tangan lain untuk bersama menggenggam. Mengajak kaki-kaki lain untuk bersama melangkah.

Kita terus bekerja, terus bekerja, terus bekerja… dengan amunisi cita dan cinta, dengan nuansa harmoni yang membahana. Hingga Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin yang membersamai kembalinya kita.




Yogyakarta, 22 Juni 2013
*Beberapa menit sebelum ditampilkan di depan publik


Inspirasi:
  • Kejadian hidup sehari-hari
  • Aali 'Imraan : 110
  • At-Taubah : 105
  • An-Nahl : 125
  • Az-Zukhruf : 68
  • Ahaadiitsu Rasuulillaahi shallallaahu 'alaihi wa sallam
  • Tulisan 'Kematian Hati', dari Ustadz Rahmat Abdullah
  • Taujihat Syaikh Hasan Al-Banna


"Umat manusia membutuhkan kader yang luapan hatinya menggenangi hati orang-orang di sekitarnya. Dengan luapan rabbani itu, mereka dapat menggenangi hati orang-orang di sekitarnya. Maka dengan cara seperti itu, manusia berubah dari satu keadaan menuju keadaan lain dan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya."
(Hasan Al-Banna)

2 komentar: