Senin, 10 Juni 2013

Diari Jogja-Jakarta-Serang di 1 Juni

(Semacam) Laporan Pertanggungjawaban
 Delegasi BEM KM UGM 2011 untuk Walimahan Lakso Anindito-Rizca Mery Adiaty



Kaus oblong dan celana olahraga yang semuanya berwarna merah untuk perjalanan menuju ibukota, Jakarta. Ya, aku suka warna merah, dia seperti memberiku energi tambahan untuk berani dan menantang hiruk-pikuk suasana perjalanan yang penuh ketidakpastian. Dan perjalananku kali ini adalah perjalanan dengan 'misi suci' sebagai seorang delegasi.

Sejak mengenal perjuangan, aku jatuh hati pada tantangan dan menduakan kenyamanan. Beberapa kali tepat konteks dan beberapa kali hanya menjadi apologi :D. Kali yang ini mungkin apologi, di saat aku harus berhadapan dengan ancaman keterlambatan sehingga meninggalkan banyak hal yang menggantung di Yogyakarta lalu menerobos celah demi celah jalanan sempit gang Kutu Dukuh dan jalanan padat Jalan Magelang, menuju Terminal Jombor. Padahal bisa saja tidak perlu menempuh cara demikian jika saja kemarin tidak berlebih waktu membaringkan sadar sampai setengah hari sehingga meninggalkan banyak agenda.

Selamat dari probabilitas musibah jalanan dan keterlambatan, aku masih memiliki sisa waktu sekitar 15 menit, alhamdulillaah. Bus Handoyo yang hendak kutumpangi untuk misi suci ini kabarnya akan berangkat pukul 13.30. Namun di negeri ini seringkali pengorbanan dan kedisiplinan terasingkan di pojokan imaji, sehingga aku harus menambah waktu tunggu 1 jam sambil mengisi baterai HP, bermain dengan obrolan imajinatif 2 bocah kecil Terminal Jombor, dan bolak-balik menabung wudhu di toilet. Tidak jauh dari pukul 14.30, di saat aku sedang mengambil wudhu di toilet Terminal, bus yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang lalu menjemputku ke toilet lantas petugasnya membentakku karena ketidaksiapan di tempat. Catatan ironi tambahan di negeri ini.

Perjalanan Yogyakarta-Jakarta dimulai dengan gaya bus merayap, menjemput penumpang lain di beberapa tempat agen resmi sepanjang jalan. Aku bertahan sadar hingga waktu maghrib menjelang untuk mendirikan shalat ashar, lalu beberapa menit menyelesaikan hal-hal yang menggantung yang akan ditinggalkan di Yogyakarta melalui beberapa telepon dan kiriman SMS, lalu melelapkan diri. Melelapkan diri adalah cara terbaik untuk terhindar dari siklus biologis yang menuntut lapar dan bolak-balik toilet juga dari siklus psikologis yang menuntut jari-jemari mengirimkan SMS –didukung oleh habisnya energi baterai HP, tepat di saat kumandang azan maghrib menggema dari berbagai arah--. Semalaman perjalanan itu aku hanya sadar beberapa jam untuk istirahat makan, shalat, mengisi baterai HP, dan mengirim SMS balasan serta laporan,  selebihnya adalah memejamkan sadar. Yang aku ingat di saat Subuh, bus yang kutumpangi sedang berjuang melaju di tengah-tengah kemacetan jalanan Pantura.

Sekitar pukul 08.30 --setelah 18 jam perjalanan bus-- aku menepi di Terminal Lebak Bulus, tidak sesuai rencana yang memperkirakan bus akan mengantarkanku hingga Pancoran. HP-ku kehabisan energi baterai, tidak ada yang bisa aku kontak untuk informasi dan bantuan lainnya, maka warung pinggiran Terminal menjadi pilihanku untuk menunggu sambil mengisi baterai. Tentang HP-ku ini, beberapa kali aku meyakinkan orang-orang bahwa HP-ku ini meskipun notabene orang menilainya sebagai stupid phone namun kelakuannya seperti smart phone, sedikit-sedikit menagih listrik :D. Charging baterai HP selama setengah jam aku rasa cukup untuk manifestasi komunikasi hingga menemukan sumber listrik berikutnya, kos Syaugi Muhammad di Pancoran, partner untuk melanjutkan perjalanan dalam misi suci yang aku tempuh ini.

Perjalanan Terminal Lebak Bulus-Pancoran seharga Rp. 3.500,- itu ternyata bukan perjalanan yang mudah dan cepat. Ada benarnya juga pepatah yang mengatakan “ada harga, ada kualitas!”. Dalam perjalanan via Trans Jakarta itu aku harus berganti bus sampai 3 kali; pertama karena kerusakan mesin sehingga busnya mogok, kedua karena ban busnya meledak –tepat di samping kiri tempatku berdiri--, dan yang ketiga karena transit jalur bus. Singkat cerita akhirnya aku sampai di kosnya Syaugi pada pukul 10.00.

Istirahat sejenak dengan mengerjakan dan mengirimkan tugas-tugas kantor yang kubawa, sedikit bersih-bersih, dan ganti baju. Setelah memastikan ada satu barang berhargaku (mushaf Al-Qur'an) yang hilang dalam perjalanan --entah, sepertinya diambil copet karena tali gantungannya yang terjuntai keluar dari saku atas bagian dalam jaketku memang sekilas nampak seperti aksesoris HP atau dompet--, lalu aku bersama Syaugi berangkat menuju Pasar Rebo sambil diiringi gerimis untuk berburu bus menuju Serang. Tepat pukul 12.00 mendapatkan bus, tidak peduli ideal-gak idealnya, waktu itu yang terpikir hanya; “the first who come, the first who get us”. Perkiraan lama perjalanan adalah 2 jam, sebuah perkiraan waktu tanpa perhitungan kemacetan yang benar-benar terjadi.

Bus yang kami tumpangi ini ternyata tidak bisa mengantarkan kami ke tujuan terdekat, Taman Kopassus di daerah pintu tol Serang Barat, dia hanya mengantarkan sampai pintu tol Serang Timur. Waktu menunjukkan pukul 15.30, mencari mobil tumpangan lain hanya akan membuang waktu lebih banyak lagi bagi kami sebagai dua orang asing, hingga ojek adalah pilihan pamungkas untuk melanjutkan perjalanan. Dengan ojeklah kami melanjutkan perjalanan misi suci, menembus padatnya lalu lintas Serang menuju Taman Kopassus. --FYI, ongkos ojek Tol Serang Timur-Tol Serang Barat lebih mahal dari ongkos Pasar Rebo-Serang--.

Sesampainya kami di gerbang taman Kopassus, mendadak ojek yang kami tumpangi mogok seraya menampakkan wajah ragu nan khawatir. Setelah lobi dan dibantu arahan orang-orang sekitar gerbang Taman Kopassus akhirnya ojek kembali melaju masuk, mengantarkan kami ke depan Gedung Serbaguna --belakangan kami ketahui pada hari biasa memang Taman Kopassus gak bisa dimasuki sembarang orang--. Di sana bukan among tamu nan cantik dan ganteng yang menyambut kami, tetapi kera-kera taman Kopassus. Mereka berkeliaran menatapi kami sembari mengais dan mengunyah sisa-sisa makanan dari sebuah acara besar yang baru saja selesai di sana. Beruntung para kera itu tidak sampai menghalangi apalagi menyerang kami yang –nampaknya— sama-sama berwajah kusut digulung angin.

Alhamdulillaah, keramaian manusia di sana memang telah usai tapi tokoh-tokoh utamanya masih menetap di tempat untuk berbenah. Tak lama setelah kami memasuki gedung kami bisa menemui kedua mempelai, menyerahkan kado dan titipan salam, menyantap hidangan walimahan di ruang khusus keluarga, dan foto bersama kedua mempelai. Misi suci selesai. Dalam perbincangan di sana diketahui bahwa telah hadir di sana beberapa tokoh mahasiswa era pasca reformasi, beberapa tokoh Nasional, termasuk Prof. Denny Indrayana yang meskipun dalam kondisi belum pulih dari sakit tipusnya.

Wajah prihatin kami memang tidak bisa menipu dengan alasan kemapanan perjalanan, hal ini mengundang simpati keluarga mempelai yang berhasil mendesak kami untuk ikut mengantarkan kepulangan kami. Jadilah mobil Kijang Innova mereka harus diisi 10 orang dengan ragam ukuran plus beberapa barang perlengkapan walimah --meskipun tidak lama--. Kami sempat diajak ke rumah mempelai wanita di Serang untuk istirahat sejenak lalu diantarkan sampai gerbang tol Serang Timur untuk melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Kampung Rambutan.

Terima kasih banyak rekan-rekan di Jogja; Luthfi, Nandika, Indah, Isdhama, Dhanur, Bhima, Yusro, Langkah, Zaki atas sokongan moril-materil dan kepercayaan kalian mengutusku untuk melaksanakan misi suci ini. Terima kasih banyak Syaugi Muhammad yang sudah rela ikut bersusah-payah dalam perjalanan, sampai menanggung sebagian besar beban ongkosku dan menyediakan ruang kos serbalengkapnya untuk transit di Jakarta (aku benar-benar tak berdaya di hadapan orang bergaji :p). Terima kasih banyak Hidayah Audah yang sudah turut berniat menjadi partner perjalanan di Serang meskipun akhirnya batal, niat baik tidak akan pernah sia-sia (titip salam buat keluarga yang sedang sibuk menyiapkan hajatan besar :)). Terima kasih banyak untuk Diki (teman kos Syaugi), tokoh figuran yang turut membantu menyelesaikan tugas-tugas bawaan dari Jogja. Terima kasih banyak kepada Bang Lakso dan keluarga, atas kehangatan, perhatian, dan keterbukaan kalian (termasuk oleh-olehnya) dalam menyambut kami, benar-benar keluarga yang unik. J

*kita do'ain bareng-bareng untuk 'Dimas' Pangky yang sedang berkompetisi, juga Putri dan Nunik yang lagi sibuk gawe (dapet bocoran, katanya tengah tahun ya Nik :D)

*Muhammad Iqbal M. R.*

Pancoran, 1 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar