Senin, 17 Juni 2013

Perspektif dan Metafora

Nilai kehidupan yang kita kenal umumnya membuat kita akan berfikir bahwa makanan super enak sekalipun akan menjatuhkan selera dan bahkan mengundang amarah ketika disuguhkan atau disodorkan dengan menggunakan kaki. Sebagaimana hal lainnya, kita akan berpikir dalam dan panjang bahkan hingga menahan diri untuk menyatakan “makanannya gak enak!!” ketika orang yang menyuguhkannya adalah sosok yang baik hati, rupa, kata, dan tata.

Tentang sebuah sajian. Dalam posisi penyaji, jika kita ingin mendapatkan timbal balik yang baik maka cara penyajian adalah aspeknya yang vital.

Dalam posisi orang yang disajikan, makanan yang super enak akan tetap terasa super enak hingga berkali-kali lipat lebih dari sekedar super enak ketika kita bisa mengolah perspektif dan metafora, bagaimana pun kasarnya cara penyajiannya dalam pengetahuan umum kita. Dari sini kita bisa melanjutkan penjelajahan indra, menyelisik sehingga mungkin sekali akan ditemukan fakta bahwa sang penyaji memang memiliki cacat tangan, atau cacat mental, atau mengalami deviasi pemahaman atas nilai umum yang kita kenal, atau ingin mengenalkan nilai-nilai baru --yang menyebabkan cara penyajiannya demikian terjadi.

Tentang menerima sebuah sajian. Dalam posisi orang yang disajikan, jika tetap ingin mendapatkan manfaat maka cara pandang dan metafor adalah ibarat penenang hati dan penyedap rasa.


Ada satu sikap kunci yang aku temukan dari pengalaman kasus-kasus semacam di atas, bahwa emosi sangat berperan untuk mengurung atau membuka jawaban yang tersembunyi di balik setiap peristiwa --tentunya semua terjadi atas izin Allah ta’ala--. Emosi menguji penguasaan kita atas potensi pikir dan rasa. Sebaik apapun kata-kata nasihat, terlebih ayat-ayat kauniyat dan qauliyat, indra dan hati yang dikuasai oleh amarah dan benci akan menyendat jalur-jalur kebaikan pada diri kita, ia takkan mampu menyerapnya hingga menjadi saripati untuk membentuk karakter positif. Di lain cerita, seburuk apapun rupa dan rasa, hati yang terlanjur dikuasai cinta akan leluasa menerima.

Menjatuhkan diri pada kobaran amarah dan benci hanya akan menghanguskan sajian lezat yang harusnya bisa kita santap, membakar diri kita sendiri sehingga tak mampu merasakan nikmatnya makanan yang sudah tersaji. Jikapun berhasil masuk dalam pencernaan kita, tiada faedah bahkan mungkin saja menjadi bibit penyakit yang kelak berakumulasi menjadi sel-sel kanker yang memangsa potensi-potensi baik diri kita.

Husnul-khuluq (akhlak yang mulia) pada diri kita ternyata takkan lebih lengkap jika tanpa Husnuzh-zhann (prasangka baik), seperti lengkapnya ‘istimewa setiap waktu’ jika syukur beriringan dengan sabar. Segala puji bagi Allah dan Maha Suci Allah yang telah menyertakan maksud di setiap penciptaan dan peristiwa. Tiada yang tersia dicipta.



Yogyakarta, 16 Juni 2013
Inspirasi:
  •           Peristiwa kehidupan sehari-hari
  •           Al-Qur’aan Al-Kariim, Aali ‘Imraan : 190-191
  •           Ahaadiitsu Rasuulillaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
  •           Buku ‘Melejitkan Potensi dengan Kekuatan Iman’, karya Dr. Taufiq Al-Wa’i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar