Senin, 10 November 2014

Menelisik Jejak-Jejak Nasionalisme Indonesia

Sejenak kita menengok buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mencari makna nasionalisme, maka kita akan mendapati definisi yang sederhana tentang suatu paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Jika diuraikan, asal katanya dari kata ‘nasional’ yang memiliki akar kata dari bahasa Latin yaitu ‘nation’ yang salah satu maknanya adalah ‘bangsa’, kemudian digabung dengan kata ‘isme’ yang bermakna paham atau sistem kepercayaan. Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme ini kemudian diasumsikan berperan membangun kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual sehingga anggota bangsa itu bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa mereka.

Kapan dan bagaimana nasionalisme hadir di tengah-tengah kehidupan manusia? Ada yang berpendapat bahwa nasionalisme mulai tumbuh dan naik daun pada abad 20 sebagai kekuatan politik kontemporer, termasuk dalam daftar produk-produk era modern. Ada yang merasa bahwa gagasan nasionalisme ini sudah muncul sejak masa revolusi Prancis di akhir abad 18. Ada juga yang berpendapat bahwa ideologi ini sudah muncul alamiah dan mendarah-daging pada diri seorang manusia sedari zaman nenek moyangnya. Fakta yang bisa kita telisik dari sejarah Indonesia khususnya mengatakan bahwa peperangan yang terjadi di sepanjang singgungan pribumi dengan Belanda di Nusantara ini hingga akhir abad 19 tidak disebabkan oleh permasalahan yang menyinggung semangat yang semakna dengan nasionalisme modern, karena ternyata peperangan itu memiliki latar belakang sejarah yang lebih disebabkan oleh kepentingan pribadi, politik lokal, dan ekonomi.

Secara umum, tumbuh dan hidupnya nasionalisme di manapun akan bertemu pada beberapa faktor yang senada, yaitu; 1) adanya campur tangan bangsa lain (misal: penjajahan); 2) adanya keinginan dan tekad bersama untuk melepaskan diri dari tirani agar manusia mendapatkan hak–haknya secara wajar sebagai warga negara; 3) adanya ikatan rasa senasib dan seperjuangan; dan 4) karena bertempat tinggal dalam suatu wilayah yang sama. Friedrich Hertz dalam buku Nationality in History and Policy mengidentifikasi adanya empat unsur nasionalisme, yaitu hasrat untuk mencapai kesatuan, kemerdekaan, keaslian, dan kehormatan bangsa. Politik drainase dan diskriminasi sosial yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda, lalu kerinduan pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan terdahulu yang menginspirasi kembalinya kedaulatan pada kaum pribumi, dan gerakan kaum cendekiawan yang mempelajari gagasan-gagasan kebangsaan ala Barat, kesemuanya mendorong nasionalisme tumbuh di Indonesia.

Dalam catatan awal abad 20 yang dipenuhi oleh peristiwa peperangan dan kolonialisasi, kebangkitan nasional bangsa-bangsa Asia-Afrika pun menjadi dorongan yang signifikan bagi cikal-bakal bangsa Indonesia untuk kemudian melakukan perlawanan atas penindasan pemerintahan kolonial. Pada rentang tahun 1904-1905 misalnya, kita menemukan kemenangan Jepang atas Rusia, kemudian peristiwa revolusi Tiongkok pada 1911 dan pendirian partai Kuomintang oleh Sun Yan Set yang dinilai berhasil menjadikan Cina sebagai negara merdeka pada 1912.

Nasionalisme yang ada di Indonesia ini jika digolongkan termasuk nasionalime multikultural, yang menunjukkan bahwa identitas bangsa Indonesia ini tersusun dari berbagai lapisan etnis yang mengikatkan dirinya dalam satu komitmen  pada institusi negara yang menjamin kesetaraan status sebagai elemen bangsa atau warga negara. Konsep bangsa yang seperti ini menurut Benedict Anderson adalah komunitas yang imaginer, komunitas yang dibuat dan berada dalam imajinasi (pemikiran) setiap anggota bangsa itu. Konsep bangsa ini menggantikan konsep kesatuan-kesatuan yang umurnya lebih tua seperti kesatuan dinastik dan kesatuan yang berdasarkan corak agama, dan kondisi ini terjadi di Eropa juga Asia.

Bisa juga dikatakan bahwa nasionalisme di Indonesia adalah nasionalisme pasca kolonial karena terdorong untuk muncul oleh himpitan kolonialisasi. Selama proses kolonialisasi itu juga terjadi proses transfer pemahaman kepada kaum cendekiawan bangsa Indonesia ini. Salah satu produk transfer pemahaman itu adalah paham nasionalisme. Salah satu gagasan kerangka nasionalisme dalam sejarah Indonesia yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pernah dinilai sebagai bentuk infiltrasi pengetahuan Eropa tentang konsep bangsa. Ernest Renan, seorang filosuf dan ahli peradaban dan bahasa Timur Tengah kuno yang berkebangsaan Perancis, menyatakan bahwa sebuah nasion memiliki unsur satu bangsa, satu tanah air, dan satu nasib.

Dalam perkembangan gagasan pergerakan Islam, nasionalisme menjadi isu yang cukup kontroversial. Bisa dikatakan bahwa nasionalisme tertuduh berada di balik peristiwa terpecahnya kekhalifahan Islam pada era awal abad 20. Ide-ide nasionalisme dan kesukuan yang dicetuskan oleh Barat ini diklaim telah berhasil membuat negara-negara yang awalnya berada dalam kawasan kekhilafahan Islam menjadi terpecah-pecah sebagai negara tersendiri. Salah satu pergerakan Islam yang berkolaborasi dengan gagasan nasionalisme adalah pergerakan al-ikhwan al-muslimun (IM) di Mesir yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna. Kolaborasi yang dilakukan adalah memperluas perspektif dan definisi nasionalisme sehingga nasionalisme ini bagi mereka adalah potensi untuk perjuangan dan persatuan umat Islam.

Hasan Al-Banna menuliskan dalam kumpulan risalah dakwahnya bahwa makna nasionalisme yang bisa dan harus tetap dibersamai oleh pejuang muslim adalah nasionalisme kerinduan pada tanah kelahiran, nasionalisme kehormatan dan kebebasan dari kezaliman penjajahan, nasionalisme kemasyarakatan yang memperkuat dan memberdayakan ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat, dan nasionalisme yang membebaskan negara-negara dari kejahatan kolonialisasi dan imperialisme. Nasionalisme yang diredefinisi oleh IM ini tidak berbatas pada konteks geografis, namun pada konteks akidah. Hasan Al-Banna menyatakan dalam risalahnya; “Bagi kami, setiap jengkal tanah di bumi ini, di mana di atasnya ada seorang Muslim yang mengucapkan ‘Lâ Ilâha Illallâh’, maka itulah tanah air kami. Kami wajib menghormati kemuliaannya dan siap berjuang dengan tulus demi kebaikannya.”

Sejarah Indonesia mengumpulkan catatan bahwa para ulama dan kaum muslimin memegang peran penting dalam perjuangan membangun dan merawat kemerdekaan bangsa Indonesia. Para ulama melakukan edukasi kepada masyarakat di berbagai tempat dan kesempatan tentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah, Perang suci di Aceh, fatwa haram membantu Belanda dan fatwa wajib jihad melawan Belanda oleh KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya, seruan persatuan membela kemerdekaan yang telah diproklamirkan dan lain sebagainya. Artinya, buah nasionalisme yang ada di tanah air Indonesia ini juga berawal dari benih yang ditanam oleh mereka, para ulama dan kaum muslimin, dan perspektifnya senada dengan perspektif nasionalisme yang telah digaungkan oleh IM di Mesir.

Jelas sekali bagi bangsa Indonesia bahwa nasionalisme adalah sesuatu yang penting bagi sejarah dan identitas kebangsaan mereka. Nasionalisme di Indonesia adalah produk inspirasi intelektual yang telah disentuh oleh kearifan lokal dan semangat jihad fî sabîlillâh. Nasionalisme yang dimiliki oleh Indonesia memiliki komitmen sebagaimana yang dimaktubkan dalam konstitusi kenegaraannya (UUD 1945) untuk mencerdaskan dan mewujudkan kesejahteraan generasi bangsa, melawan penjajahan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di atas dunia dan terlibat aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia. Bukan nasionalisme yang membengkakkan ego hingga memantik konflik horizontal sesama warga bangsa ataupun bangsa dan negara lain yang membuat jatuhnya wibawa dan harga diri bangsa. Apakah perwujudan nilai, semangat, dan komitmen nasionalisme ini masih ada di Indonesia pada masa sekarang? Tentu saja ada dan masih bisa terus didayagunakan. Setiap diri seseorang yang tercatat sebagai warga negara Indonesia adalah eksekutornya.

Seperti manusia yang dilahirkan lalu tumbuh berkembang menjadi bijak oleh pembelajaran peristiwa kehidupan, mari kita membersamai perjalanan pembelajaran Indonesia menuju kedewasaan berbangsa dan bernegara sedari kisah perih kelahirannya hingga kejayaannya yang didamba. Dan alangkah syahdu dan patut kita teladani jika kita mendalami do’a yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm kepada Allah ta’ala untuk negerinya (Makkah); “..Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian..”. (Al-Baqarah ayat 126).


* tulisan ini juga diterbitkan dalam Majalah IQRO Dompet Dhuafa Hong Kong Edisi 96, November 2014

Referensi:
  • Thohari, A., Wisnugroho, 2010, Nasionalisme Tanpa Rakyat, Jurnal Satukata Vol. 01, Lesika, Yogyakarta
  • Anderson, B., 1999, Indonesian Nationalism Today and in the Future, Indonesia, No. 67, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca
  • Suyono, C.R., 2009, Peperangan Kerajaan di Nusantara, Penelusuran Kepustakaan Sejarah, PT. Grasindo, Jakarta
  • Brown, D., 2001, Why might constructed nationalist and etnic ideologies come into confrontation with each other?, SEARC Working Paper Series No. 9
  • Albanna, H., Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Era Intermedia, Solo
  • Suryanegara, A.M., 2009, Api Sejarah 1, Salamadani Pustaka Semesta, Bandung
  • http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 16 Oktober 2014
  • http://history1978.wordpress.com/perangkat-sejarah/sejarah-kelas-xi-ipa/lahirnya-nasionalisme-di-indonesia/, diakses pada 16 Oktober 2014
  • http://pancasila.weebly.com/pengertian-nasionalisme.html, diakses pada 16 Oktober 2014
  • http://serbasejarah.wordpress.com/2012/10/19/jong-islamieten-bond-meng-islam-kan-kaum-terpelajar/, diakses pada 20 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar