Minggu, 28 Oktober 2012

Langit Biru Cerah di Malam Dzulhijjah

Perjalanan masih jauh dan semangat masih membara, lain halnya dengan punggung, bokong, dan kaki yang sudah pegal-pegal juga kelopak mata yang terus menagih untuk turun. Seketika sadar bahwa kantuk menyerang maka kukencangkan zikir atau kukeraskan murattal dan nasyid-nasyid yang menangkring asyik lewat headset di telingaku sembari berteriak mengikuti pelafalannya, -untung saja helmku fullface, tidak ada pengendara motor atau mobil lain yang nampaknya shock lalu protes mendengar suara-suara teriakan sumbangku-, atau aku benar-benar tepar lalu berhenti di masjid yang terdekat untuk tidur. Secara tidak diniatkan perjalananku kali ini akan memecahkan rekorku lagi, setelah Solo Tour Tangerang-Ciamis, Duet Tour Bandung–Jogja, dan Solo TourJogja-Ciamis-Jogja, sekarang Solo Tour Jogja-Ciamis-Cibubur-Ciamis-Jogja. Masih dengan partner-ku yang setia, Hamraa Tsaaniya, dan masih dengan malam, waktu favoritku untuk perjalanan jauh.

Meskipun berada di jalanan dan daerah yang sama, setiap malam selalu memiliki keunikan. Seperti halnya malam perjalananku yang ini, di saat observasiku sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ternyata tidak hanya siang yang bisa memiliki ‘langit biru cerah’. Ya, malam hari ini aku banyak menemukan keramaian dan terang-benderangnya lampu di balik tenda-tenda biru. Entah tenda biru yang ke berapa yang terakhir tadi aku temui, rasa-rasanya jari-jari di tangan dan kakiku semuanya sudah mengisi daftar presensi menghitung sejak beberapa menit yang lalu, dan ini baru hampir sampai di seperempat perjalanan. Ini memang Bulan Dzulhijjah, momen yang khas untuk ibadah haji dan juga identik dengan fenomena tenda biru atau janur kuning, seperti malam ini, terhitung beberapa jam saja dari waktu pelaksanaan shalat sunnah ‘idul adha.

Bulan Dzulhijjah dan Syawwal selalu menyuguhkan fenomena ramainya pesanan jasa penghulu. Sadar gak sadar, kita bisa memeriksanya lewat undangan-undangan walimahan yang pernah kita terima untuk kita pribadi atau untuk anggota keluarga kita. Biasanya aku sama sekali gak mempermasalahkan dan memusingkan fenomena ini, sama sekali! Jelas aku malah ikutan gembira kok kalau menyaksikan kegembiraan yang syar’i. Namun akhir-akhir ini di saat giliran rekan-rekan sebayaku yang memasuki usia wajar nikah, kepusingan ini hadir. Maaf, bukan pusing karena memikirkan “waahh, ane kapan ya?” atau “entar ane dapetnya sama siapa ya? Cantik gak ya? Solehah gak ya? Orang mana ya? Bla..bla..bla…?”, duhh… asli! bukan musingin yang begitu –setidaknya untuk sementara ini :p-. Lalu apa yang dipermasalahkan dan dipusingkan? ‘Kehadiran’, itu saja!

Tahun kemarin yang mengundang masih mayoritas kakak angkatan, aku masih tenang dan tidak terlalu menyesal meskipun tidak bisa menghadiri, karena hanya beberapa saja yang benar-benar dekat dan pernah aktif bersama-sama. Tahun ini –terutama bulan Syawwal dan Dzulhijjah ini-, undangan yang aku terima adalah mayoritas dari teman-teman seangkatan. Sebagaimana wajarnya seangkatan, kami sering berinteraksi dan pernah sama-sama bergelut dalam susah-senang beragam aktivitas, dan ini yang menjadi energi tambahan untuk ‘bagaimanapun juga harus bisa hadir!!’ sekaligus menjadi alasan bertambahnya rasa penyesalan ketika tidak bisa menghadiri. Syukur kalau kedua mempelai adalah teman seangkatan, apalagi kalau lokasinya dekat, atau setidaknya jauh pun ada waktu dan ada ongkos, serasa bonus plus plus. Menjadi dilema dan memusingkan adalah ketika ada lebih dari 1 walimahan, di hari dan waktu yang sama –atau berdekatan-, kemudian tempatnya berjauhan.

Aneh deh, kenapa juga sekedar gak bisa datang malah dipusingin?! Lebay lu!! Nyiksa diri tuh. Ya biar aja sih, kan masih bisa ngirim do’a atau hadiah!”. Duh, terserah kamu meresponnya bagaimana, pokoknya ya begitulah yang ada di pikiran dan perasaan. Yang aku tahu, pernikahan adalah momentum yang sakral dalam kehidupan seorang manusia, dia menjadi pelengkap setengah diin-nya, dia menjadi titik perubahan yang riil dalam kehidupan seorang manusia, dia menjadi tempat tumpahruahnya kebahagiaan dua peradaban yang bersatu karena Allah ta’ala. Dan bagiku pribadi, ketika kebahagiaanku menjadi bagian dari kebahagiaan orang lain sehingga mereka ikut hadir dan terlibat, itu adalah sebuah penghargaan yang sangat tinggi harganya! :D

Dilema ini kemudian memancing rasa penasaranku untuk belajar, bagaimana bisa fenomena walimahan ini menumpuk di bulan Syawwal dan Dzulhijjah. Apakah aku juga harus mengikuti mainstream ini? Ternyata ada catatan sejarah bahwa dahulu kala masyarakat jahiliyyah di masa Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- pernah memiliki tradisi syirik menganggap sial dan petaka atas pernikahan di bulan Syawwal, hanya karena ada fenomena unta betina yang enggan dikawin di bulan Syawwal. Kemudian beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- membongkar mitos kesialan ini dengan menikahi ‘Aisyah -radhiyallaahu ‘anhaa- pada bulan Syawwal. Dari riwayat ini dan dari hadits ‘Aisyah -radhiyallaahu ‘anhaa-, kemudian sebagian ulama berkeyakinan bahwa ini merupakan isyarat anjuran menikah pada bulan Syawwal sebagai upaya ittiba’ pada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Terus bagaimana dengan tinjauan historis pernikahan di bulan Dzulhijjah? Informasi tentang ini nih yang belum aku dapatkan, selain obrolan yang menyatakan “mungkin semacam cuci gudang sebelum masuk bulan Suro (Muharram)”. Nah lho, memangnya ada apa dengan bulan Muharram? Kemudian aku teringat kejadian di tahun lalu, di saat aku nekat motoran sendirian menggilas jalanan Jogja-Cilacap demi menghadiri walimahan seorang kerabat yang aku kenal di sebuah pelatihan Leadership di Cibubur tahun 2009 silam. Waktu itu di sela-sela kesibukan menerima tamu-tamunya dia bercerita panjang lebar tentang proses pernikahannya, termasuk sikap kontroversinya mengambil waktu di bulan Muharram –waktu itu memang bertepatan dengan bulan Muharram-. Ternyata ada sebuah keyakinan yang mengakar pada sebagian masyarakat Jawa bahwa bulan Suro itu bulan sial sehingga bisa mengundang petaka bagi yang melangsungkan pernikahan di bulan tersebut. Hmm.. Pantas saja kalau pas bulan Muharram hampir gak ada undangan walimahan, beda dengan bulan-bulan lain. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, ini musibah syirik! Thiyaarah, yaitu menganggap bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu, adalah syirik. Apatah lagi bulan Muharram adalah salah satu dari 4 bulan suci dalam ajaran Islam.

Lalu, setelah melalui penemuan fenomena cerahnya langit biru di malam hari, dilema kehadiran dan ketidakhadiran, dan hasil belajarku di perjalanan ini tentang Syawwal-Dzulhijjah-Muharram, akhirnya aku tertuntun pada sebuah imajinasi; “menikah di bulan Muharram itu OK banget!! Saingan acara walimahan sedikit --> undangan jadi gak banyak kebingungan milih-milih --> yang hadir bisa banyak, lalu memecahkan mitos kesialan”. Allaahu a’lam. Selama jalan yang ditempuh masih jalanan kebaikan untuk menuju kepada Allah ta’ala ya stay cool saja lah, tetap melanjutkan perjalanan kehidupan dengan tenang dan optimis. Bravo!

*26 – 28 Oktober 2012, dalam transit perjalanan Jogja-Ciamis-Cibubur-Ciamis-Jogja; dua roda, 1 jiwa, bersama Dia, yang memberi makan dan keamanan bagi Quraisy di perjalanan semua musim mereka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar