Sabtu, 28 April 2012

Sepotong Episode Menegakkan Langkah

Deklarasi syahadat itu harus dirayakan bung
Ada banyak ruang, dalam 3 dimensi ungkapan cinta
Ya kamu merasakan getaran kebenarannya di sanubari dan jiwa
Ya kamu mengucapkannya, kata-kata tentang rasa
Ya kamu bekerja semaksimalnya, sekuat sekemampuan raga

Kuranglebih begitulah landasan prinsipnya ketika kaki harus menghadapi dilema menegakkan langkah.


***

“apa rencanamu ke depan selepas amanah sekarang?”.

Dahiku berkernyit, pertanyaan klasik, jawaban yang sama untuk spesies yang serupa ini, “belum ada yang tergamblangkan selain tetap menancapkan kebermanfaatan di setiap jenak-jenak langkah”.

“di mana? tentunya tetap harus ada ruang spesifik”.

Kernyitannya semakin parah, tapi kali itu senyumaku ikut hadir menyapa, “belum tahu, dan aku tidak mengkhawatirkannya, kenapa juga harus?”.

“ini tentang ruang pertanggungjawaban amal kepublikan dan amal jama’i”.

Lalu aku terpekur. Dan esensi dialog itu akhirnya tidak lama berlangsung karena berikutnya terbangun jibaku jiwa raga.

***

Waktu berselang beberapa, hingga kemudian dialog itu kembali terbangun.

“upahmu nanti memang mungkin tidak seberapa dengan lelahmu, tapi ini adalah proyek peradaban bung! Dakwah! Jihad! Kalau kamu berhasil berarti ini menjadi amal jariyah. Kamu tahu itu? Artinya kamu tidak ada tapi efek kinerjamu semasa hidup terus bekerja mengirimkan upeti-upeti keberkahan ke pundi-pundi amalmu”.

Mataku berbinar-binar, hatiku bergemetar, otakku terus berputar. Menghasilkan sebuah kalimat tanya, “memangnya peradaban seperti apa yang akan kita bangun dari sini?”

“peradaban manusia yang unggul dan mandiri. Unggul, punya nilai lebih dalam kepeduliannya, prestasinya, produktivitasnya, shalih dan shalihah, kecerdasan pribadi dan kemasyarakatannya, kedisiplinannya, akhlaknya. Mandiri finansial, mandiri pemikiran dan sikap, mampu memberdayakan potensi kehidupan yang dimiliki”, nampak lihai jawaban ini terucap olehnya.

artinya semua jerih payah yang aku curahkan harus selalu merujuk pada dua kata kunci penting itu; keunggulan dan kemandirian. Gambaran tentang visi ini terus terngiang-ngiang di permukaan gendang telinga batin.

“tapi, aku malu, aku bukan orang yang sudah selesai dengan problematika pribadi, aku khawatir tak sanggup mengelola problematika orang-orang. Alih-alih mencoba membantu menyelasikan masalah, nanti aku sendiri malah membunuh diri sendiri dan menambah masalah orang lain. Hutang-hutang kuliahku masih menumpuk. Sedangkan ada tuntutan kelulusan di waktu cepat. Aku juga bukan orang yang punya prestasi baik di akademik”, lepas ini terucapkan.

“yah, pilihan, kamu mau ambil atau tidak. Tidak pun nanti pasti ada orang lain yang akan mengambilnya. Ini peluang amal yang langka, tidak asal disebarluaskan beritanya. Lagipula kalau tentang akademik, Rumah peradaban itu bukan hanya ingin mencetak generasi yang berprestasi akademik tinggi, dan kelak kamu akan menemukan keberagaman prestasi itu di sana, tidak ada cerita ketika prestasi akademik buruk menyebabkan seorang bibit generasi di rumah peradaban itu disingkirkan. lebih luhur dari itu, lebih mulia dari sekedar prestasi kompetensi akademis, adalah KARAKTER! Di sana tempat MEMBANGUN KARAKTER! MEMBANGUN AKHLAK! Kamu punya kapasitas itu”, nada keyakinan dari lisannya semakin meninggi. Lalu beragam bentuk ‘tapi’ menghantuiku.

“Intinya adalah keteladanan. Mereka punya kelebihan, kamu pun demikian. Mereka punya bergudang-gudang masalah, kamu pun demikian. Bagaimana kamu mengolah potensi? Bagaimana kamu menghadapi dan menyelesaikan masalah? Bagaimana sistem yang memberdayakan potensi mereka itu kamu bangun? Jawaban-jawabannyalah yang akan dibutuhkan oleh mereka dalam membangun KARAKTER itu, dalam merealisasikan AKHLAK itu!”.

Beragam spekulasi menghampiri, beragam bayang melingkupi. Goyah walau tetap mencoba tegak melangkah.

***

Kamu pasti tahu bagaimana pertemuan pertama kita masih diiringi sipuan malu dan kesungkanan. Asrama kita itu sangat luar biasa di balik keberantakannya. Entah berapa jumlahnya orang hebat yang terbit dari sana. Ketar-ketir aku membaca setiap lembar tertempel di beberapa sisi dindingnya; “Mahasiswa jangan banyak bicara kalau urusan makan saja belum beres!”, “orang yang tidak berintegritas harus menyingkir!”, “berapa puluh tahun lagi rumah ini dikenal sebagai pencetak pemimpin-pemimpin bangsa!”, “dengan menggunakan hak orang lain, anda telah merusak sistem!”. Aku rasa tak seorangpun tak bergetar jiwanya jika meresapi kata demi kata itu.

Aku berada di tengah-tengah bibit tokoh-tokoh hebat. Dan aku iri dengan perjuangan yang ada di sana. Seperti Palestina yang menjadi luhur nilainya karena dia menjadi negeri para pejuang, negeri orang-orang yang rela tertumpahkan darahnya untuk kemuliaan diin mereka dan diri-diri mereka. Rasa perjuangan dan kesahajaan itu sangat kental ada pada diri mereka. Sesuatu yang selalu berhasil menjebol pertahananku untuk tidak menitikkan air mata haru. Sesuatu yang selalu berhasil memantik kesadaran dzikirku.

Takdir Allah itu keniscayaan. Pertemuan antara jiwa-jiwa ini tentu sudah terrekamkan jelas di atas lembar-lembar lauh mahfuzh. Sebagaimana sesederhana perjumpaan dua jiwa dalam sebuah episode perjalanan, banyak pilihan sikap yang dapat kita ambil; membiarkannya berlalu saja dengan dunia masing-masing, atau sekedar melemparkan senyum, atau menambahkannya dengan senyum-salam-dan sapa, atau kemudian berikutnya, merangkainya menjadi episode-episode lanjutan yang kelak tersambungkan di Jannah Allah. Episode-episode cinta. Episode-episode yang menguras letih jiwa raga. Episode-episode membangun peradaban AKHLAK. Episode-episode menegakkan langkah, mendeklarasikan syahadat.


22 April 2012
KP4 UGM
Episode Pembinaan Bersama, Beastudi Etos-Domper Dhuafa Wilayah Yogyakarta

1 komentar:

  1. makasih banyak ya :)
    aku juga barusan mampir ke EPICENTRUM, wah.. udah malang melintang di per-Blog-an, tulisannya udah banyak dan bagus2, inspiratif..
    *sudah di-follow juga bang, sip

    salam kenal!
    salam Solid! B-)

    BalasHapus