Jumat, 12 Desember 2014

Catatan Emas Sejarah Muslimah

Peradaban kehidupan manusia dan semesta adalah kumpulan sejarah dalam hitungan waktu yang pernah hadir. Secara sunnatullaah, keberadaan kita sekarang pun adalah buah keberadaan orang-orang sebelum kita. Allah ta’ala telah menjelaskan dalam al-Qur`an bahwa Dia telah menciptakan manusia secara berpasangan yang dari keduanya lahirlah generasi hingga kesemuanya tersebar berbangsa-bangsa (QS. an-Nisâ`:1; al-Hujurât: 13).

Satu sosok yang diakui paling berpengaruh dalam tumbuh kembangnya sebuah generasi adalah sosok ibu (wanita). Ada kata-kata hikmah yang menyatakan bahwa “wanita itu tiang Negara, bila dia baik, maka baiklah negara itu. Tetapi bila wanita itu rusak maka rusaklah negara itu”. Bisa kita bayangkan secara logis, jika yang melahirkan, –terutama- yang mengasuh dan mendidik seorang anak adalah sosok ibu yang rusak akhlaknya, maka akhlak anaknya itu sebagai generasi dari sebuah Negara (peradaban) juga akan mengalami kerusakan yang tidak jauh berbeda.

Islam menetapkan kemuliaan seorang wanita sebagai pribadi dan sebagai bagian dari ummat (sosial). Ada perspektif mulia tentang wanita yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam sabda-sabdanya;

Dunia adalah tempat kesenangan dan keindahan, dan sebaik-baik tempat kesenangan dan keindahan ialah wanita shalihah”. (HR. Muslim, Ahmad, dan Nasâ`i)

Tidaklah yang menghormati wanita-wanita kecuali orang mulia. Dan tidaklah yang menghinakan wanita kecuali orang yang hina pula”. (HR. Ibnu Asakir)

            Sejarah menyajikan pelajaran tentang andil kaum wanita dalam membangun peradaban yang mulia sejak zaman nabi Adam ‘alaihissalâm hingga nabi yang terakhir, Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kita bisa mendapatkan kisah sepanjang rentang zaman itu betapa muslimah (wanita) di sekitar  para nabi sangat berperan di dalam membantu tugas dakwah para nabi, dan mereka adalah para teladan bagi kehidupan setelahnya, bagi wanita juga pria. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang beberapa sosok wanita yang layak dijadikan teladan oleh kita sebagai ummat akhir zaman ini;
Cukuplah wanita-wanita ini sebagai panutan kalian, yaitu Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Pada kisah nabi terdahulu, kita bisa mendapati kisah tentang Asiyah binti Muzahim. Asiyah adalah istri Fir’aun, di tengah kezaliman dan kejahilan Fir’aun dan anak buahnya, Asyiah menunjukkan keteguhannya dalam memegang keimanan kepada Allah ta’ala dan Musa ‘alaihissalâm walaupun harus menanggung ujian siksaan yang berat. Kisah tentang kemuliaan Asiyah diabadikan di dalam al-Qur`an (QS. At-Tahrîm: 11) juga dalam al-Hadits. Kemudian peran ibu Musa ketika Musa masih bayi, yang dengan ikhlas memenuhi perintah Allah ta’ala untuk menghanyutkan bayinya ke sungai Nil. Lalu peran kakaknya Musa yang memantau kotak yang berisi bayi Musa yang telah dihanyutkan itu. Kita bisa membaca juga tentang kisah bagaimana peran Siti Hajar ibunda Isma’il ‘alaihissalâm dalam mendidik anaknya sehingga mampu menjadi hamba Allah yang sabar dan taat kepada Allah. Kisah ibunda dan kakak perempuan Musa juga kisah Isma’il ini diabadikan oleh Allah ta’ala di dalam al-Qur`an, diceritakan berkali-kali dalam beberapa surat.

Maryam binti ‘Imran adalah sosok salihat yang paling banyak disebutkan namanya dalam Al-Qur`an, namanya juga terabadikan dalam al-Qur`an sebagai nama surat ke-19, sedangkan nama ayahnya pada surat ke-3. Sebuah penghargaan yang luar biasa yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dan keluarganya. Allah ta’ala berfirman dalam al-Qur`an, “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (QS. Âli ‘Imrân: 42). Hikmah yang juga bisa kita pelajari dari kehidupan Maryam adalah pasangan orang tua yang shalih dan tempat tumbuh kembang yang baik untuk menghasilkan pribadi generasi yang baik. Firman Allah ta’ala; “Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”.” (QS. Maryam: 28).

Para muslimah di masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam selalu berlomba memberikan kontribusi, peran, dan tanggungjawab mereka. Mereka ikut berlomba meraih kebaikan meskipun mereka juga sibuk sebagai sosok istri dan ibu rumah tangga. Mereka pun cerdas dan kritis dalam belajar kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Khadijah radhiyallâhu’anhâ adalah wanita yang paling setia kepada Rasulullah, ia telah berkorban dengan jiwa dan hartanya di masa awal-awal tugas kerasulan. Khadijah adalah teladan para istri dalam rangka ketaatan dan dukungannya pada suami. Khadijah adalah wanita pertama yang mengakui kenabian suaminya, beliaulah yang paling memahami karakter dan sifat dari suaminya. “Demi Allah, sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah sungguh engkau telah menyambung tali silaturahim, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah”, ungkap Khadijah pada saat amanah kenabian diberikan kepada Muhammad (HR. Al-Bukhari I/4 no 3 dan Muslim I/139 no 160).

Fatimah az-Zahra` binti Muhammad radhiyallâhu’anhâ, sejak kecil beliau menjadi saksi pembangkangan orang-orang kafir Quraisy terhadap apa yang didakwahkan oleh ayahnya, beliau pula yang kemudian membersihkan pakaian ayahnya saat kotoran ditimpakan pada ayahnya. Fatimahlah yang dengan berani dan lantang berorasi di depan kaum kafir yang telah mengganggu dan menyakiti baginda Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Saat usianya belasan, ia ditinggal wafat ibu (Khadijah) dan saudari-saudarinya yang lain satu per satu. Namun Fatimah tegar menghadapi bermacam ujian itu. Bahkan kemudian Fatimahlah yang mengurusi setiap kebutuhan dari ayahandanya. Fatimah adalah teladan bakti seorang anak kepada orang tuanya, karena itulah ia kemudian dikenal dengan sebutan Ummu Abîhâ (anak yang menjadi seperti ibu bagi ayahnya).

Kemudian kita juga bisa belajar tentang andil seorang wanita dalam peradaban dari sosok Aisyah binti Abi Bakar radhiyallâhu’anhâ. Aisyah adalah teladan tentang sosok wanita yang mengasah kecerdasannya, ia banyak belajar dari Rasulullah kemudian mengajarkannya kembali kepada kaum wanita dan pria. Aisyah adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah sepeninggal Khadijah, dan yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ia meriwayatkan 2210 hadits, 279 di antaranya terdapat di dalam Shahih Bukhari

Pernah diceritakan pula bahwa ada seorang muslimah bernama Asma` binti Sakan yang kerap hadir dalam pengajian Rasulullah. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, engkau diutus oleh Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi mengapa ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum’at, sedangkan kami tidak; mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad, sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka. Kami ingin seperti mereka”. Maka, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, “Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan wanita ini. Wahai Asma`, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi.” (HR. Ibnu Abdil Bar).

Ada juga seorang muslimah pada masa Rasulullah yang diuji dengan penyakit, sehingga dia datang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta untuk didoakan. ‘Atha` bin Abi Rabah bercerita bahwa Ibnu Abbas radhiyallâhu’anhumâ berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita surga?” Aku menjawab, “Ya”. Dia melanjutkan, “Ini wanita hitam yang datang ke Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengadu, ‘Aku terserang epilepsi dan auratku terbuka, maka doakanlah aku’. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu mendapatkan surga. Atau kalau kamu mau, aku berdo’a kepada Allah agar kamu sembuh”. Wanita itu berkata, “Kalau begitu aku sabar, hanya saja auratku suka tersingkap. Doakanlah supaya tidak tersingkap auratku”. Maka, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendoakannya.

Ada juga kisah muslimah yang ikut berperang seperti Nasibah binti Ka’ab yang dikenal dengan panggilan Ummu Imarah. Dia bercerita, “Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sementara aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka”. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bercerita, “Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud”.

Ada juga kisah al-Khansa` -Tumadhar binti ‘Amr- yang merelakan empat anaknya wafat menjadi syuhada` Qadisiyah. Ketika al-Khansa` mendengar berita kematian empat puteranya dalam hari yang sama, ia sama sekali tidak meratapi kondisi itu sembari menyakiti diri dan merusak pakaiannya, namun ia menerima berita duka itu dengan penuh keimanan dan kesabaran. Ungkapannya waktu itu, “alhamdulillah yang telah memberiku kemuliaan dengan kematian mereka. Aku berharap, Allah akan mengumpulkanku dengan mereka di tempat limpahan kasih sayang-Nya”.

Dari kisah-kisah di atas kita dapat memahami betapa besarnya peran dan tanggungjawab wanita pada masa para Rasulullah dan salafusshâlih, mereka memberikan kontribusi dari apa yang mereka memiliki untuk keberlangsungan dakwah para nabi dan peradaban yang baik. Selain membantu kerja-kerja dakwah nabi, mereka juga adalah para ibu teladan, yang darinya lahir dan tumbuh kembang generasi yang shalih, entahkah itu lahir dari mereka sendiri ataupun tidak. Allah ta’ala berfirman tentang kisah para nabi dan orang-orang salih dalam al-Qur`an;

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)

Jika kita mencoba merinci apa saja hal mendasar yang telah mereka lakukan dalam membina generasi yang shalih, maka sederhananya kita akan mendapati beberapa hal berikut. Pertama, mereka totalitas dalam beriman dan taat kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Kedua, mereka memiliki perhatian yang tinggi pada ilmu lalu menempa diri sebagai madrasah bagi anak-anak mereka, demikian hakikatnya wanita adalah tempat pembinaan paling pertama dan mendasar bagi seorang anak. Ketiga, mereka memilih pasangan (suami) dari orang-orang shalih kemudian menjadi pasangan yang baik bagi suami mereka itu dalam beribadah dan berjuang di jalan Allah ta’ala. Dan keempat, mereka memegang peran yang baik dalam kontribusi untuk masyarakatnya, secara eksternal yaitu memiliki peran positif dalam aktivitas kemasyarakatan pun internal dalam hal mengondisikan nuansa kebaikan dalam rumah tangganya.


* tulisan ini juga diterbitkan dalam Majalah IQRO Dompet Dhuafa Hong Kong Edisi 97, Desember 2014


Referensi:
  • Almishri, M., 2014, 35 Sirah Shahabiyah (Jilid 1 dan 2), Al-I'tishom Cahaya Umat, Jakarta
  • Sulaiman, E., 2007, Khadijah dan Aisyah, Salamadani Press, Bandung
  • Muhammad, A.M., 2006, Khadijah-The True Love Story of Muhammad SAW, Penerbit Pena, Jakarta
  • Tim Kajian Manhaj Tarbiyah, 2010, Mar`ah Muslimah
  • Feriyanto, 2012, Teladan Wanita Sepanjang Masa, http://www.dakwatuna.com/2012/04/15/19504/teladan-wanita-sepanjang-masa/#axzz3IvXSrXn5
  • Aminah, N., 2010, Karakter Wanita Shalihah, http://majalah.hidayatullah.com/?p=1642
  • DaarusySyifaa, 2013, Keutamaan Wanita Shalihah, http://pontrendaarusysyifaa.wordpress.com/2013/01/06/keutamaan-wanita-shalihah/
  • elhakim, L., 2013, Al-Khansa Radhiyallahu'anha: Wanita Penyabar, Ibu Para Mujahid, http://thisisgender.com/al-khansa-radhiyallahuanha-wanita-penyabar-ibu-para-mujahid/

4 komentar: