Senin, 29 Agustus 2011

Dialog di Penghujung Pertemuan

Waktu itu mungkin terlalu pagi untuk dikatakan pagi di saat aku bertemu dengannya, di alam abstraksi. Dini hari, dan langit masih dalam kelam. Sendu, aku rasakan raut mukanya. Masygul tangannya berkemas. Mematut-matut penampilannya.

“Apakah sudah saatnya?” tanyaku.

“Iya”, pendek jawabannya, nampak enggan menoleh. Tapi aku bisa melihat perubahan raut mukanya, Nampak otot pipinya melebar. Senyum?

Aku menyambut jawabannya dengan menarik nafas cukup dalam, mencoba mengisi rongga-rongga alveolus yang seraya menyesak. Aku menunduk, “Serasa belum lama ini kamu datang ya sobat”, kata-kata itu keluar dari mulutku bersamaan dengan nafas keluaran.

“Syukurlah kalau masih menganggapku sahabat”, dia merespon, masih tanpa menoleh. Respon yang membuat aku mengerutkan otot-otot antara kedua alis mataku. “Tapi sungguh, aku sudah cukup mendapatkan banyak pengkhianatan dari orang-orang yang menganggapkanku demikian. Terlebih dari mereka, yang berbusa-busa memuji-mujiku, menceritakan tentang kebaikan-kebaikanku, mengancam orang-orang yang mengacuhkan dan menyesalkan aku, namun belakangan mereka akhirnya berkomplot dengan orang-orang yang mereka ancam”, ada nada menggantung, dia masih belum selesai bicara. “Semoga kamu tidak menjadi bagian dari mereka”. Kali ini dia menoleh. Dan benar, otot pipi yang terlihat melebar dari belakang memang mengguratkan senyum, namun ternyata garis alis dan matanya mengatakan keprihatinan.

“Apa maksudmu sobat?”, aku menghampirinya, memastikan aku dekat dan bisa bersitatap muka dengannya.

“Kamu tidak merasakannya selama ini?”, dia bertanya dengan ekspresi kaget. Namun senyum itu masih terukirkan.

“Mohon ceritakanlah dengan jelas padaku sobat, barangkali aku punya kesempatan dan kekuatan untuk memberikan nasihat kepada mereka atas apa yang kamu rasakan dari perilaku mereka. Dan bahkan aku mungkin juga nantinya harus meminta kelegaanmu untuk memaafkanku jika ternyata aku berada pada komplotan mereka”. Aku memegang kedua tangannya, mencoba meyakinkan dia bahwa aku bisa dipercaya olehnya untuk berbagi resah-resah.

Dia menarik nafas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya halus. Masih dengan senyuman.

“Baiklah sahabat. Sederhana sebenarnya. Tapi sebelumnya, ada baiknya kamu tuntaskan dulu qiyam-mu yang tadi terpotong tadi”, dia mulai percaya membagi resah denganku. Aku mengangguk setuju.

Lalu aku mengambil wudhu, kembali menyusuri waktu-waktu sunyi dan dingin dini hari. Sunyi. Dingin. Jangkrik-jangkrik pun sepertinya memilih berselimut di lubang-lubang mereka.

Lengang. Dan memang lengang. Masjid-masjid dan mushola-mushola kampung tegak dengan kelam kosong. Kalaupun ada tanda-tanda kehidupan di sana, pastilah itu hewan-hewan kecil; serangga-serangga, mamalia-mamalia, reptil-reptil. Kecuali masjid yang aku tempati tegak berdiri waktu itu. Tapi tetap saja lengang dengan sendiriku.

***

“Kamu sudah siap mendengarkan resah-resahku?”, tiba-tiba saja dia sudah duduk di sampingku. Bertanya. Beberapa detik setelah salam witir dan dzikir.

“Ya, aku siap mendengarkannya. Sebelum kamu benar-benar yakin untuk pergi. Aku lihat kamu sudah selesai berkemas juga”, jawabku sambil melihat-lihat pakaiannya yang sudah sangat rapi.

Dia meraih pundakku, kemudian memposisikan dirinya berhadapan denganku. Perlahan dinding-dinding masjid seperti membenamkan diri. Langit-langitnya menjadi transparan. Hilang. Lantai masjid menghilang. Bumi menghilang. Aku seperti di angkasa. Langit musim kemarau yang tanpa awan membuatnya semakin jelas. Bersih kelam menggemintang. Bulan sabit terlihat sudah semakin menipis. Hampir hilang. Saat itu aku merasakan kekerdilan sosok manusia walau aku sadar saat itu aku berada di alam abstraksi. Dia masih tersenyum, bukan demi melihat ekspresiku yang penuh tanya.

“Sungguh benar apa firman Tuhanmu yang dimanuskripkan abadi, yang dijaga sampai akhir masa fana. Manusia memang zhalim dan jahil, cenderung berlebih kelewat batas dan cenderung berlebih tidak sampai batas standar normal. Sebenarnya rasa heranku tentang manusia sudah biasa aku tahan semenjak aku diciptakan dan mengiringi hidup kalian. Namun heran itu kembali terbangun menguat di masa-masa akhir kehidupan fana ini. Untung saja aku tidak diciptakan untuk punya rasa putus asa kemudian enggan mengedari hari-hari manusia. Hanya patuh pada Penciptaku, apakah harus membersamai kalian lagi atau tidak. Sederhana.”, dia memulai penjelasan.

“Aku mulai dengan menanyaimu saja”, pandangannya yang awalnya seperti menerawang jauh kini seketika terarahkan jelas ke mataku.

“Oh, y.. ya.. ya, silakan”, jawabku dengan spontan bercampur kaget.

“Kira-kira, apa menurutmu yang membuat aku resah dengan sikap mereka –atau kamu- atas kehadiranku?”, pertanyaan mulai disampaikan. Refleks pandanganku beralih seperti mencari-cari jawaban di semua arah penjuru mata angin. Memutar memori. Lama.

“Baiklah, aku permudah tingkatan pertanyaanku”, dia memotong waktu berfikirku. Tidak tega melihatku ragu memberikan jawaban yang entah sudah aku dapatkan atau belum. Masih dengan senyuman.

“Apa isi konsekuensi kedatanganku, dan untuk apa tujuan konsekuensi tersebut?”, pertanyaan revisi.

Ini mudah sekali, jauh-jauh sebelum kedatangan dia di hidupku banyak orang membicarakan jawaban pertanyaan seperti ini. Bahkan tak ketinggalan di setiap forum. Di hari-hari kedatangannya. Pagi, malam, siang, sore.

“Diwajibkan shiyam bagi yang mengaku beriman agar mendapat gelar taqwa”, cepat sekali aku menjawabnya. “Dan kadar taqwalah yang membuat setiap orang mempunyai nilai berbeda di hadapan Tuhan”, tambahku.

Dia menyunggingkan senyum yang lebih sumringah setelah mendengar jawabanku. Kepalanya mengangguk seraya memejamkan mata sejenak. Khidmat.

“Nah, berikutnya pertanyaan awalku tadi sekarang kembali diberlakukan, silakan memberikan jawaban”. Dia kembali berucap. Kini aku mulai faham maksudnya.

“Banyak arahan untuk mendapatkan tujuan tersebut namun teracuhkan”, aku berhasil menjawab. Jawaban yang aku rasa cukup diplomatis dan fundamental.

“Kamu memberikan jawaban yang aman tapi tidak sampai mengamankan batinmu”. Dia menimpali jawabanku. Senyumnya mengembang.

Aku tertunduk dengan nyengir kuda.

“Acuhmu itu entah sengaja atau tidak, karena telah terkuasai nafsu. Tidak bisa membangun shiyam-mu secara utuh. Dipenuhi euforia berlebih atas nikmat-nikmat zahir. Sampaikanlah ini kepada manusia”. Dia seperti melengkapi jawabanku atas pertanyaannya. Kembali membuat dahiku berkerut.

“Aku belum faham dengan penjelasanmu tadi”, aku bahasakan kerutan dahiku.

“Ini tentang konsistensi dan integritas”, dia menimpali. “Kamu bisa menyaksikannya sendiri. Ketika aku datang sampai akhirnya memutuskan harus pergi, masing-masing manusia berjalan dengan nasibnya yang beragam. Ada yang bertahan membangun visi Taqwa, ada yang tergelincir ketulusan, ada yang mengendon di garis start, atau bahkan mundur. Aku, dan semua keunikan kalian di dalamnya”.

“Di jelang akhir ini masih saja manusia lupa berbagai luas ruang yang diberikan atas kedatanganku? Ketika semua yang mustahab mendapat derajat nilai wajib, dan yang wajib mendapat derajat nilai bertujuhpuluhkali-lipat? Ingatkah kamu ketika seorang terkasih mengajarkan kita dengan pernyataan misteriusnya; “Seandainya manusia tahu kehakikian isi Ramadhan, niscaya dia akan meminta sepanjang tahun adalah Ramadhan”. Mungkin pernyataan ini yang sering terlupakan oleh euforia. Tepatnya terlampau euforia. Menyangka kepuasan berlebih adalah pemuas lepas dahaga dan lapar. Karena kebanyakan selepas berbuka bukan ibadah lagi yang disambut untuk berlanjut jibaku di dalamnya, dilepasnya baju ibadah lalu memilih lengah dan melenguh”.

Penjelasan yang aku sepakati. Seketika muncul rekaman jejak kehidupan di kepalaku. Aku teringat beberapa putaran waktu di belakang. Paradoks. Manusia riuh memenuhi jalanan di atas kendaraan bermotor mereka membuang bahan bakar minyak dan waktu mereka hampir percuma. Menjebakkan diri mereka dalam kemacetan yang menghabiskan usia mereka. Berboncengan. Tak jelas yang mereka bonceng itu halal atau belum halal. Yang pasti semua nampak sumringah dan bangga. Jumlahnya kalah sedikit dengan manusia-manusia yang memilih duduk khidmat menggali ketidaktahuan mereka tentang seluk-beluk diin mereka, membaca ayat-ayat qauliyahNya yang dulu diturunkan bersamaan dengan sosok yang berhadapan denganku. Yang paradoks, keriuhan tersebut tidak sekemudian berpindah ke tempat-tempat ibadah selepas panggilan syurga dikumandangkan. Jalanan menyepi, dan masjid-masjid masih tetap sepi walau bertambah segelintir. Paradoks. Ironi. Dan aku melihat sosokku pernah menjadi bagian dari keriuhan itu. Memuas-muaskan lapar yang memenuhi rongga sadar, dan lalai pada panggilan ibadah selanjutnya. Duh Gusti, ternyata itu menggoreskan resah pada sosok yang aku sebut sahabat di hadapanku.

Sosok yang senantiasa tidak melepas senyumnya itu memperhatikan ekspresi terawang memoriku. “Penjelasanku belum berhenti. Yang tadi sepertinya sudah cukup kamu mengerti”, aku terkesiap mendengar ucapannya itu, seperti pecah lamunan, kemudian mencoba kembali bersiaga.

“Berikutnya yang terjadi pada kalian adalah terlampau euforia menyikapi ungkapan sang terkasih untuk mereka yang ibadah dengan tidurnya dalam dekap shiyam. Terlampau euforia sesampai terlalu sempit kesadaran melihatnya. Padahal, bukankah berarti ada kelapangan lebih jika kita berjuang di luar kelelapan?”. Penjelasannya seperti mengujiku.

Dan lagi-lagi aku termanggut-manggut. Mengenangkan. Kilatan-kilatan memori itu kembali, seperti muncul menjadi layar presentasi. Di tengah-tengah ruang gelap gemintang nan lebar tempat aku berada. Aku menyeringai, sejatinya malu dan tersindir. Benar. Jadwal tidurku lebih banyak dibanding jadwal berjagaku. Ada memori yang muncul ketika aku berada pada salah satu sesi ceramah tarawih, aku mendapatkan pelajaran tentang Ramadhan, sesungguhnya mengajarkan keluasan nilai ekonomis yang menguntungkan dalam hidup; pengeluaran rendah tetapi dituntut memiliki produktivitas yang tinggi. Bagaimana tidak –katanya-, waktu produktif kita lebih panjang. Kita tidur lebih akhir karena ada tarawih, dan kita terjaga lebih cepat di awal-awal hari untuk sahur.

Paradoks. Ironi. Lagi-lagi. Ternyata kebanyakan kita lebih banyak makan kemudian lebih banyak terlelap, sehingga lebih sedikit produktifnya. Dan aku mendapatkan memori di mana aku pernah berkali-kali berada pada kondisi yang tidak menguntungkan itu. Duh Gusti, anugerah makan dan tidurmu sungguh nikmat, tapi aku lengah dalam syukurnya.

Kejadian yang sama. Sosok yang senantiasa tidak melepas senyumnya itu lagi-lagi memperhatikan ekspresi terawang memoriku. Kini aku menambahinya dengan posisi kepala tertunduk. “Penjelasanku belum berhenti. Dan yang tadi pun sepertinya sudah cukup kamu mengerti”, dia berujar, dan lagi-lagi aku terkesiap mendengarnya, pecah lamunan, kemudian mencoba kembali bersiaga.

“Berikutnya, manusia terlampau euforia ketika diumumkan bahwa setan-setan dikerangkeng, neraka-neraka ditutup, syurga-syurga dibukakan. Terlampau euforia sehingga kemudian lupa bahwa masih ada setan jenis lain yang bisa berkeliaran bebas, yang berwujud manusia, dan bisa saja dirinyalah. Karena manusia diberi kebebasan memilih untuk lebih bejat dari binatang tak berakal atau lebih mulia dari malaikat yang tak bernafsu. Setan berwujud dirinya, bisa lepas kapan saja, tergantung jawaban pilihan itu”.

Penjelasannya yang barusan itu seperti baru aku mengerti sekarang-sekarang itu. Ya, aku baru sadar bahwa aku pun berpotensi menjadi setan. Ketika shiyam-ku tidak sempurna, sekedar menahan lapar-dahaga. Masih cenderung mengobrak-abrik akal sehat, mendidihkan amarah, menghangatkan syahwat. Na’uudzu billaah. Duh Gusti, aku berlindung padamu. Kini aku merasa takut dan jijik dengan diriku. Beberapa kebanggaan yang pernah disematkan serasa gugur satu-persatu.

Aku tertunduk. Mengambil nafas dalam-dalam. Memejamkan mata, menyempurnakan penerawangan memori perjalananku di beberapa hari lewat bersama sosok yang waktu itu berhadapan denganku.

“Berikutnya”, suara lembut dari senyuman itu kembali memecah.

“Manusia terlampau euforia dengan melimpahruahnya makanan berbuka di rumah-rumah Allah, tetapi lupa menanam investasi di dalamnya. Sedang di hari-hari biasa saja kepastian dari Allah sudah dipatok sebagaimana umpama menanam sebiji benih yang kemudian tumbuh darinya 7 batang dengan masing-masing berisikan seratus biji benih. Apatah lagi ketika Ramadhan? Aku tahu ini dekat dengan dunia keseharianmu”. Penjelasan tambahan, yang masih dengan senyum. Bukan senyum meremehkan. Dan bukan senyumnya itu yang membuat aku tersindir.

Kini terawangan memori perjalananku diiring hati yang tergelitik. Nyengir. Merasa cukup maklum sebagai mahasiswa, anak kos-kosan, anak rantauan dari negeri lain di negeri yang katanya negeri para pembelajar. Aku teringat di dunia pergaulan kami, mahasiswa, ada paradigma ‘PPT’, singkatan dari ‘Para Pencari Takjil’ atau ‘Para Pemburu Takjil’. Unik. Perjalanan dari masjid ke masjid di jelang akhir hari seringkali membias niatannya, dan seringkali cenderung fragmatis tujuannya. Di kota domisiliku sekarang, kondisi itu memang menguntungkan kami, menekan pengeluaran, ekonomis. Tapi benar kata dia yang waktu itu berhadapan denganku, kami lupa sedekah, lupa menanam investasi harta yang lebih hakiki. Padahal banyak yang membuka pintu-pintu itu, pintu untuk ikut menanam investasi memberi makanan berbuka, dan tidak membatasi jumlahnya, sesukarelanya, sesanggup yang ingin dan bisa diberikan. Gusti, aku malu. Nyengir. Mungkin berikutnya kepanjangan dari ‘PPT’ harus diganti menjadi ‘Para Pemberi Takjil’.

“Aku rasa, berikutnya ini yang terakhir. Aku harus memulai perjalanan. Mungkin saja perjalanan yang terakhir dengan kalian”, ujarnya. Aku kembali berjaga, bersiap menerima penjelasan yang katanya akan menjadi penjelasan terakhir di pertemuan kami waktu itu.

“Kalian terlampau euforia dengan budaya warisan kalian, lebih memilih meramaikan jalanan dan pasaran, kemudian mengosongkan masjid-masjid di hari-hari terakhir aku membersamai. Tidak seperti yang dicontohkan manusia terkasih. Dia mengajak keluarganya beramai-ramai menghidupkan malam-malamnya rumah-rumah Allah, mengencangkan ibadah, mengunci syahwat, mengosongkan kamar-kamar rumahnya. Sedang peluang mendapatkan pahala yang usianya melebihi usia normal manusia, malam yang mulia, tersembunyi di sana. Tidak diberikan kepada mereka yang cuma-cuma amalnya, apalagi acuh melaluinya”.

Yang kesekian aku mengangguk. Sibuk duniawiku masih dominan di hari-hari terakhir bersamanya. Tidak membersamainya dengan semestinya. Mengikis, dan hilang hormatku. Sombong, serasa cukup. Atau serasa umur masih berbilang panjang ke depan. Padahal siapa yang tahu? Benar apa yang diucapkannya sebelum penjelasan terakhirnya tadi, “Mungkin saja perjalanan yang terakhir dengan kalian”. Aku tertunduk, menghela nafas panjang. Beberapa saudara, sahabat dan kerabat-kerabatku sudah mendapatkan perjumpaan terakhir dengannya di tahun lalu. Entah di mana mereka kini, di sisi kubur yang terang atau gelap, saat tahun ini aku kembali bertemu dengannya. Bulir-bulir air yang hangat mulai menganaksungai di pipiku, seperti mengenyahkan dinginnya dini hari waktu itu yang memang sudah tidak kurasakan lagi dinginnya, teralihkan sesal. Duh, Gusti Allah, maafkan hamba yang banyak lalai membaca ayat-ayatMu. Ampuni hamba yang lalai menyiapkan perbekalan akhirat.

“Baiklah, aku pergi sekarang”, dia berdiri setelah mengambil nafas panjang dan menepuk pundakku. Lamat-lamat juga aku mendengar suara kokok ayam jantan di kejauhan. Dia kemudian berbalik.

“Tunggu!”, aku menahannya, memegang tangannya. Dia menoleh, kembali memosisikan dirinya berhadapan denganku. Aku berdiri.

“Aku sudah cukup banyak disadarkan sekarang, aku mohon beritahu aku juga, kami harus mulai dari mana agar tidak lagi-lagi membuatmu resah, agar tidak lagi-lagi kembali tidak beruntung”, aku mengucapkannya dengan ekspresi memelas, memegang kedua tangannya.

Dia kembali menarik nafas dalam-dalam, masih dengan senyumannya.

“Arahan dari pencipta kita sudah sangat jelas. Mulailah akrab dengan ini”, dia berujar sambil menunjuk saku bajuku. Bukan. Bukan sakunya yang dia maksud. Tapi isinya, mushaf Al-Qur’an kecil yang sering aku bawa kemana-mana tapi jarang sempat aku buka. Lagi-lagi aku tersindir. Menunduk.

“Dia dahulu mulai diturunkan ketika aku sedang membersamai kalian. Belasan abad yang lalu. Di dalamnya terdapat semua penjelasan kehidupanmu, bukan hanya tentang bagaimana bergaul baik denganku”, tambahnya.

Agak lama aku tertunduk, mengambil nafas dalam. Kemudian aku mengangkat wajahku lagi, masih dengan mata yang membasah. Mengukir senyuman kesungguhan. Ingin menunjukkan padanya dan pada Sang Pencipta semesta bahwa aku sudah mengerti penjelasan-penjelasan, meneguhkan yakin. Semacam janji untuk melakukan perubahan.

“Selamat membangun taqwa”, dia tersenyum indah, aku melepaskan pegangan tanganku. Dia berbalik. Melangkah santai, namun terasa cepat menjauh. menyiluet. Hilang. Lalu alam berubah, aku dan alam kelam bergemintang seperti tersedot ke sebuah pusaran waktu. Waktuku berada di alam abstraksi sudah berakhir.

Aku tersedak. Ada air ludah yang masuk ke rongga hidungku, efek posisi kepalaku menunduk lama. Air mataku keluar. Terbatuk-batuk. Terbangun. Aku tersadar dalam posisi duduk bersila. Tadi aku tertidur ketika asyik berdzikir. Masjid kampung tempatku itu masih sesepi dan selengang ketika terakhir aku masih bersadar. Namun di luar terdengar jelas, beberapa masjid sudah mengingatkan untuk bersahur, berlomba-lomba dengan kokok ayam jantan.

Ah, Ramadhan terakhir tahun ini. Terima kasih masih membersamai. Segala puji bagi Allah yang masih mempercayakan hidup fana pada hamba. Aku tersungkur sujud, menangis sejadi-jadinya, memohon ampun. Yang aku ingat setelah itu, dunia kembali terasa menjadi gelap.



Iqbal Muharram
Purwakarta, detik-detik terakhir 29 Ramadhan 1432 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar