Sepanjang masa
pendidikan tinggi, wisuda mungkin adalah momen yang paling dinantikan oleh
seorang mahasiswa selain sidang skripsi. Ibarat pendakian gunung, kedua momen
itu adalah puncak pendakian untuk rehat dari lelah dan mengahabiskan kalori
untuk tersenyum dan mengabadikan pemandangan kebahagiaan. Pernah mendaki gunung
hingga puncak? Ya, saat menjejak puncak itulah kita biasanya menunjukkan
kepuasan dan kebanggaan, memasang pose yang paling gagah dengan bahasa tubuh
yang seolah-olah mengatakan “hei, aku udah pernah nyampe sini lho! B-) ”
Aku sempat
berfikir dan berniat untuk tidak mengikuti prosesi wisuda karena tidak
menemukan esensi yang urgen dari seremoni itu. Setelah orang tua merespon
negatif gagasanku itu dan aku akhirnya tahu bahwa ikut atau gak ikut
wisuda aku tetap diharuskan membayar administrasi wisuda, akhirnya aku
memutuskan untuk izin meninggalkan tempat kerjadi Balikpapan beberapa hari,
menyeberangi Laut Jawa demi mengikuti wisuda. Apalagi, suatu hari ibuku pernah memamerkan
baju barunya dengan wajah sumringah seraya berkata, “ini baju baru yang akan
dipakai di wisudanya Iqbal”, hingga melelehlah sang ananda waktu itu, dan
syahdu lelehannya masih terasa hingga kini.