Waktu itu mungkin terlalu pagi untuk dikatakan pagi di saat aku bertemu dengannya, di alam abstraksi. Dini hari, dan langit masih dalam kelam. Sendu, aku rasakan raut mukanya. Masygul tangannya berkemas. Mematut-matut penampilannya.
“Apakah sudah saatnya?” tanyaku.
“Iya”, pendek jawabannya, nampak enggan menoleh. Tapi aku bisa melihat perubahan raut mukanya, Nampak otot pipinya melebar. Senyum?
Aku menyambut jawabannya dengan menarik nafas cukup dalam, mencoba mengisi rongga-rongga alveolus yang seraya menyesak. Aku menunduk, “Serasa belum lama ini kamu datang ya sobat”, kata-kata itu keluar dari mulutku bersamaan dengan nafas keluaran.
“Syukurlah kalau masih menganggapku sahabat”, dia merespon, masih tanpa menoleh. Respon yang membuat aku mengerutkan otot-otot antara kedua alis mataku. “Tapi sungguh, aku sudah cukup mendapatkan banyak pengkhianatan dari orang-orang yang menganggapkanku demikian. Terlebih dari mereka, yang berbusa-busa memuji-mujiku, menceritakan tentang kebaikan-kebaikanku, mengancam orang-orang yang mengacuhkan dan menyesalkan aku, namun belakangan mereka akhirnya berkomplot dengan orang-orang yang mereka ancam”, ada nada menggantung, dia masih belum selesai bicara. “Semoga kamu tidak menjadi bagian dari mereka”. Kali ini dia menoleh. Dan benar, otot pipi yang terlihat melebar dari belakang memang mengguratkan senyum, namun ternyata garis alis dan matanya mengatakan keprihatinan.